Surabaya (ANTARA) - Dosen manajemen strategis Universitas Airlangga Mochammad Thanthowy Syamsuddin S.E., M.A.B., menyebut tutupnya sejumlah perusahaan e-Commerce di Indonesia erat kaitannya dengan fase konsolidasi yang sedang dialami oleh perusahaan.

"Saya melihat fenomena bisnis e-Commerce platform saat ini dalam fase konsolidasi, agar mampu menciptakan keuntungan bagi para investornya. Singkatnya, bisnis e-Commerce platform mengarah ke fase profitabilitas," katanya dalam keterangan di Surabaya, Rabu.

Pada fase konsolidasi ini, ujarnya pula, perusahaan e-Commerce merespons banyak aspek eksternal. Seperti efek penurunan daya beli akibat pandemi COVID-19 dan aspek makro ekonomi lain dengan dua hal, yakni cost cutting dan optimasi potensi revenue stream.

"Ini bisa menjelaskan kenapa ada layoff yang cukup signifikan di sejumlah bisnis e-Commerce platform," ujarnya lagi.

Pada sisi lain, perusahaan e-Commerce juga meningkatkan biaya admin, commission fee, bahkan mewajibkan memakai layanan logistik internal tanpa third party. Kondisi ini membawa sejumlah konsekuensi di mana perusahaan yang gagal membentuk peta jalan menuju profitabilitas dan kehabisan modal harus out of business.

Bisnis e-Commerce saat ini tengah mendapat kompetitor baru dari platform media sosial seperti TikTok dan Instagram. Yang mana kedua platform tersebut sangat dekat dengan kehidupan generasi milenial dan gen Z.

"Ada potensi bahwa transaksi jual beli atau keputusan pembelian dua generasi ini di masa mendatang akan didominasi dari kedua platform ini," ujar dosen Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair itu pula.

Oleh karena itu, para pelaku bisnis e-Commerce harus mampu mengoptimalkan fenomena ini dan tetap mengintegrasikan ekosistem toko atau lapak mereka. Apalagi, mengingat konsumen e-Commerce Indonesia memiliki sensitivitas promo yang tinggi.

"Ada gratis ongkir pindah, ada bonus loyalitas tertentu pindah. Penawaran-penawaran seperti itu akan semakin jarang kita jumpai dari bisnis e-Commerce platform karena fase di atas (fase konsolidasi)," kata Thanthowy lagi.

Dengan adanya fenomena ini, Thanthowy merekomendasikan agar para seller atau penjual yang memiliki lapak di e-Commerce membangun kredibilitas yang baik di sejumlah platform e-Commerce dan media sosial.

Hal ini guna mengantisipasi kebijakan platform e-Commerce yang menghapus fleksibilitas pemilihan logistik dan meningkatkan biaya admin. Selain itu, agar bisa menjangkau lebih banyak potensi pembeli dan pelanggan.

Dalam jangka menengah dan panjang, ia juga merekomendasikan agar para seller di platform e-Commerce memiliki lapaknya sendiri dengan membangun website yang berisi seluruh tawaran produk, termasuk fasilitas pembayaran.

"Ini harus dilakukan oleh para pelaku bisnis dan UMKM terutama bagi mereka yang memang memiliki produk sendiri, bukan hanya trading, sehingga semua aktivitas saluran pemasaran baik online maupun offline diarahkan ke website mereka sendiri," katanya pula.
Baca juga: "E-commerce" kini jadi andalan utama berjualan, siapa terfavorit ?
Baca juga: Tren perilaku konsumen yang bisa diadaptasi pelaku bisnis di tahun ini