Tanjungpinang (ANTARA) - Pemilu yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024 menjadi sejarah baru bagi Indonesia di mata dunia lantaran pesta demokrasi ini digelar pada tahun yang sama dengan pilkada serentak.

Namun, pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 semi-konvensional masih menyisakan pertanyaan, yang potensial menimbulkan permasalahan. Salah satunya terkait dengan tugas panitia pemutakhiran data pemilih (pantarlih) seperti diatur dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022.

Tugas pokok pantarlih pada Pemilu 2024 yakni melaksanakan pencocokan dan penelitian data pemilih, memberikan tanda bukti terdaftar kepada pemilih, dan menyampaikan hasil pencocokan dan penelitian kepada panitia pemungutan suara (PPS). Namun saat melakukan pencocokan dan penelitian data pemilih, pantarlih dilarang mencoret identitas pemilih dari data, meski pemilih tersebut tidak ditemukan.

Kebijakan itu tidak sejurus dengan Pemilu 2019. Pantarlih pada saat itu diberi kewenangan untuk menghapus atau mencoret daftar nama pemilih yang tidak diketahui keberadaannya, termasuk oleh warga setempat. Hasilnya, banyak nama dalam data pemilih yang dihapus oleh pantarlih.

Pemilu 2019 di Kepri, misalnya, sekitar 300.000 nama yang dihapus dari data pemilih, paling banyak berada di Batam. Penghapusan data tersebut seirama dengan banyaknya warga pendatang yang sempat bekerja di Batam, terpaksa kembali ke daerah asalnya atau ke daerah lainnya setelah diberhentikan dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Data yang dipergunakan pantarlih dalam melakukan pencocokan dan penelitian berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bersumber dari data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4). Kini, DP4 yang bersumber dari Kemendagri, hasil pengolahan data dari Dinas Kependudukan kabupaten, dan kota juga dipergunakan oleh pantarlih sebagai dasar dalam melakukan penelitian dan pencocokan.

Sementara, jajaran KPU RI di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota sejak Mei 2021 hingga September 2022 melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang bersumber dari data pemilih pemilu atau pilkada terakhir.

Jumlah data orang-orang yang memiliki hak pilih pada DP4 jauh lebih banyak dibanding data hasil pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Jumlah DP4 di Kepri mencapai 1,4 juta orang, sedangkan hasil pemutakhiran data pemilih berkelanjutan hanya 1,1 juta orang.

KPU Kepri menyatakan pantarlih melakukan pencocokan dan penelitian terhadap data pemilih hasil sinkronisasi DP4 dengan data pemutakhiran pemilih berkelanjutan, meski berbagai pihak mempertanyakan teknis dalam sinkronisasi data tersebut sehingga menghasilkan data yang akurat.


Pemilih tak bertuan

Kebijakan yang melarang pantarlih untuk mencoret nama pemilih dari data karens tidak menemukan keberadaan pemilih tersebut, menjadi salah satu potensi permasalahan yang layak untuk dianalisis. Sebab, pantarlih memproduksi data yang kemudian ditetapkan sebagai daftar pemilih sementara (DPS). Kemudian DPS ditingkatkan menjadi daftar pemilih tetap (DPT) setelah pemutakhiran data pemilih.

Saat ini, jumlah TPS sementara sebanyak 6.228 tempat, sama seperti dengan jumlah anggota pantarlih, dengan rincian KPU Kabupaten Natuna 244 orang pantarlih, KPU Kabupaten Lingga 367 orang pantarlih, KPU Tanjungpinang 688 orang pantarlih, KPU Anambas 157 orang pantarlih, KPU Bintan 508 orang pantarlih, KPU Karimun 800 orang pantarlih, dan KPU Komisi Kota Batam 3.464 orang pantarlih.

Masa tugas pantarlih terhitung mulai tanggal 12 Februari hingga 14 Maret 2023. Satu orang pantarlih bertugas melakukan pencocokan dan penelitian di satu TPS. Mereka harus memastikan apakah orang tersebut memenuhi syarat atau tidak sebagai pemilih.

Potensi kerawanan pemilu dalam proses penetapan orang yang memenuhi syarat sebagai pemilih terjadi lantaran orang yang tidak diketahui keberadaannya oleh pantarlih, yang merupakan warga setempat, ditetapkan memenuhi syarat sebagai pemilih.

KPU kabupaten dan kota kemudian menyiapkan surat undangan pemilih sesuai dengan TPS berdasarkan DPT. Pertanyaan kritis pun muncul terkait surat undangan untuk pemilih yang tidak diketahui keberadaannya atau data pemilih tidak bertuan. Ke mana petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) harus menyampaikan surat undangan tersebut, sementara rumah yang dituju sudah kosong atau dihuni oleh orang lain.

Surat undangan itu dapat menimbulkan permasalahan baru bila dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk meningkatkan jumlah pemilih terhadap salah satu peserta pemilu. Seandainya hal itu terjadi, dan terbukti, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana, dan penyelenggara pemilu terpaksa melakukan pemungutan suara ulang.

Pemungutan suara ulang di Kepri terjadi di sejumlah TPS pada saat Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020. Energi penyelenggara pemilu pada saat itu terkuras untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang.


Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan data pemilih tidak bertuan semestinya dapat dilakukan mengingat pantarlih belum melaksanakan tugasnya. Jika memungkinkan, KPU Kepri mengembalikan tugas pantarlih seperti pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, yakni mencoret daftar nama pemilih yang tidak diketahui keberadaannya.

Bila hal itu tidak memungkinkan, maka jajaran Bawaslu RI hingga di tingkat kelurahan harus berkolaborasi dengan berbagai pihak yang berkompeten dengan penyelenggaraan pemilu untuk mengawasi pesta demokrasi itu secara ketat di TPS, seperti kepolisian, kejaksaan, TNI, ormas, dan perguruan tinggi.

Peserta pemilu juga memiliki kapasitas untuk meningkatkan pengawasan di TPS untuk mencegah penyalahgunaan data pemilih tidak bertuan tersebut.

Surat pemberitahuan waktu dan TPS yang dikenal sebagai surat undangan untuk memilih bukan syarat untuk menggunakan hak pilih di TPS. Namun berbagai kasus ditemukan, petugas KPPS di TPS menganggap surat itu sebagai surat undangan untuk memilih sehingga tidak perlu lagi memeriksa identitas pemilih.

Padahal, penyelenggara pemilu di TPS wajib memastikan setiap warga yang menggunakan hak suaranya sesuai dengan identitasnya, tidak boleh diwakilkan oleh pihak mana pun, termasuk anggota keluarga. Karena itu, pemeriksaan terhadap identitas pemilih, contohnya KTP, perlu dilakukan untuk mencegah pelanggaran pemilu yang dapat menyebabkan pemilihan ulang di TPS tersebut.

Masyarakat sebagai subjek yang memiliki kepentingan terhadap pemilu juga sudah seharusnya proaktif mengawasi tahapan seluruh tahapan pemilu, termasuk memastikan dirinya apakah terdaftar sebagai pemilih atau belum.

KPU RI memberi kemudahan kepada masyarakat untuk memeriksa dirinya apakah sudah terdata sebagai pemilih atau belum melalui situs https://cekdptonline.kpu.go.id/.

Di laman depan situs itu terdapat kolom pencarian data pemilih dan kolom rekapitulasi data pemilih. Pengguna situs itu cukup mengeklik menu pencarian yang ada di bawah kolom tanggal lahir. Nanti akan muncul identitas pemilih beserta TPS.

Bagi warga yang belum terdata dapat melaporkan hal tersebut kepada petugas pantarlih atau kepada petugas di Kantor KPU kabupaten dan kota.

Selagi masih ada waktu--demi menghasilkan Pemilu 2024 yang kredibel--pencegahan penyalahgunaan data pemilih sudah seharusnya dilakukan secepatnya.