Yogyakarta (ANTARA) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut frekuensi kejadian tanah longsor di provinsi ini mengalami tren meningkat selama lima tahun terakhir periode 2018-2022.

"Tren peningkatan tanah longsor ini perlu menjadi perhatian kita semua, terutama yang berada di kawasan rawan bencana tersebut," kata Kepala Pelaksana BPBD DIY Biwara Yuswantana saat konferensi pers di Yogyakarta, Selasa.

Baca juga: Kemensos: Program penanggulangan bencana di DIY jadi barometer

Berdasarkan data BPBD DIY, bencana tanah longsor di daerah ini tercatat 147 kali kejadian selama 2018, kemudian meningkat menjadi 506 kejadian pada 2019, 475 kejadian pada 2020, 351 kejadian pada 2021, dan melonjak 707 kejadian pada 2022.

Sehingga secara akumulatif, dalam kurun 2018-2022, bencana longsor telah terjadi sebanyak 2.186 kali di DIY dengan jumlah kejadian terbanyak di Kabupaten Kulon Progo yang mencapai 1.068, diikuti Bantul 488, Gunungkidul 389, Sleman 149, dan Kota Yogyakarta 116 kejadian.

Secara umum, menurut Biwara, bencana longsor di DIY disebabkan dua pemicu utama, yakni kondisi tanah yang rawan longsor dan curah hujan.

Baca juga: Kemarin, waspada bencana di DIY hingga imbauan terkait G20 di Bali

BPBD DIY masih akan melakukan kajian mendalam terhadap bencana longsor di daerah ini yang mengalami tren peningkatan.

Menurut dia, lokasi yang pernah mengalami longsor kondisi tanahnya biasanya semakin rentan atau lapuk, sehingga daya ikatnya tidak seperti sebelumnya.

"Makannya bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan longsor, kalau ada hujan lebat dalam waktu yang lama kami sarankan untuk menyelamatkan diri atau berpindah dulu ke lokasi yang lebih aman," kata dia.

Baca juga: BMKG: Waspadai gelombang sangat tinggi di laut selatan Jabar-DIY

Biwara mengatakan, zona rawan bencana, termasuk longsor, selama ini telah terpetakan dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DIY Tahun 2019- 2039.

Berdasarkan peta tersebut, ia menyebutkan kawasan yang rawan longsor antara lain di Kecamatan Samigaluh, Kokap, Kalibawang, Girimulyo (Kulon Progo), serta Semin, Patuk, Ponjong (Gunungkidul).

Untuk mengurangi risiko longsor, menurut Biwara, BPBD DIY lebih banyak mengandalkan edukasi bagi masyarakat agar mampu melakukan mitigasi secara mandiri dengan mengenali tanda-tanda sebelum kejadian.

Pasalnya, ia mengakui jika hanya bergantung pada alat sistem peringatan dini atau "early warning system (EWS)" di kawasan rawan longsor jumlahnya terbatas.

Baca juga: BPBD DIY minta masyarakat di zona rawan bencana tingkatkan kesiagaan

Seperti di Kulon Progo, menurut dia, terdapat tiga unit EWS online dan 39 EWS manual yang masing-masing hanya mampu menjangkau radius 100 meter di kawasan itu.

Selain itu, BPBD DIY bersama BPBD kabupaten/kota, kata dia, juga menggencarkan pembentukan desa tangguh bencana (Destana), kalurahan/kelurahan tangguh bencana (Kaltana) dan satuan pendidikan aman bencana (SPAB) di seluruh DIY.

"Hingga 2022 sebanyak 326 Destana dan Kaltana sudah terbentuk, sedangkan untuk SPAB telah terbentuk sebanyak 201 sekolah," kata dia.

Baca juga: Tanah Longsor dominasi bencana alam di DIY selama 2021

Manajer Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD DIY Lilik Andi Aryanto menambahkan terkait pemicu longsor, saat ini BPBD Gunungkidul tengah melakukan kajian bersama Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Kemarin dari Badan Geologi dalam hal ini BPPTKG juga menawarkan ke kami. Mereka siap membantu melakukan kajian," kata dia.

Baca juga: BPBD: Pembentukan desa tangguh bencana di DIY mengacu SNI Kebencanaan
Baca juga: 10 kampung siaga bencana di Kulon Progo-DIY diaktivasi Mensos