Desa di Aceh wajib gunakan dana desa untuk tangani stunting
6 Februari 2023 20:25 WIB
Penyuluh gizi Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh (kiri) memeriksa kesehatan balita dan memberikan sosialisasi kepada orang tua tentang penanganan kasus stunting di Banda Aceh, Aceh, Jumat (25/11/2022). (ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/rwa)
Banda Aceh (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Aceh menyebut seluruh desa di provinsi paling barat Indonesia itu diwajibkan menggunakan dana desa tahun 2023 untuk penanggulangan angka kekerdilan pada anak atau stunting, yang memang masih menjadi fokus pemerintah ke depan.
“Ada beberapa fokus penggunaan dana desa untuk kesehatan, dan untuk stunting itu wajib,” kata Kepala DPMG Provinsi Aceh Zulkifli di Banda Aceh, Senin.
Ia mengatakan Aceh mendapat kucuran dana desa sebanyak Rp4,76 triliun pada 2023, untuk disalurkan kepada 6.495 gampong atau desa yang tersebar di 23 kabupaten/kota di daerah "Tanah Rencong" itu.
Pemerintah pusat, kata dia, tidak membatasi jumlah anggaran yang dapat digunakan aparatur desa untuk penanggulangan angka stunting. Setiap para aparatur dapat menyesuaikan dengan kebutuhan gampong atau desa.
Ia menjelaskan apabila ada desa yang tidak mengalokasikan dana desa untuk penanganan stunting, maka setiap desa selain desa mandiri, tidak bisa melakukan pencairan dana desa tahap ketiga.
“Kalau banyak anak stunting maka bisa digunakan banyak, sesuai kebutuhan. Jadi ini wajib, kalau ada desa tidak menganggarkan maka tidak bisa cair tahap terakhir, artinya ada punishment (hukuman),” katanya.
Penggunaan dana desa untuk pencegahan dan penurunan stunting ini, katanya, bisa dilakukan melalui pelatihan kesehatan ibu dan anak, pemberian makanan tambahan, penyuluhan dan konseling gizi, peningkatan kapasitas kader posyandu dan kegiatan lainnya.
“Jadi kalau tidak ada anak stunting di desa itu, maka bisa digunakan untuk ibu hamil atau upaya pencegahan stunting lainnya,” kata Zulkifli.
Selain untuk stunting, dana desa juga bisa digunakan untuk penanggulangan penyakit seperti pencegahan diare, penyakit menular, penyakit seksual, HIV/AIDS, tuberkulosis, hipertensi, diabetes mellitus, gangguan jiwa COVID-19 dan penyakit lainnya.
“Pencegahan penyalahgunaan narkoba juga bisa dimanfaatkan, jadi ini bersifat prioritas saja, bukan sifat wajib, sesuai dengan kebutuhan desa diputuskan dalam musyawarah desa,” ujarnya.
Sebelumnya, berdasarkan laporan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2021, di Provinsi Aceh rata-rata terdapat 33,2 persen anak usia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami stunting. Sementara prevalensi stunting secara nasional berada di 24,4 persen.
Dari data SSGI tersebut, Aceh menempati posisi ketiga tertinggi setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada posisi pertama dan Sulawesi Barat pada posisi kedua.
Baca juga: Kepala BKKBN memantau langsung penurunan stunting pada tahun 2023 di Aceh
Baca juga: Aceh menjadikan hari gizi 2023 sebagai momentum untuk mengurangi stunting
Baca juga: BKKBN meminta Aceh bekerja sama untuk mengurangi stunting melalui BAAS
Baca juga: Kepala BKKBN: Aceh memiliki pangan lokal yang melimpah untuk mengatasi stunting
“Ada beberapa fokus penggunaan dana desa untuk kesehatan, dan untuk stunting itu wajib,” kata Kepala DPMG Provinsi Aceh Zulkifli di Banda Aceh, Senin.
Ia mengatakan Aceh mendapat kucuran dana desa sebanyak Rp4,76 triliun pada 2023, untuk disalurkan kepada 6.495 gampong atau desa yang tersebar di 23 kabupaten/kota di daerah "Tanah Rencong" itu.
Pemerintah pusat, kata dia, tidak membatasi jumlah anggaran yang dapat digunakan aparatur desa untuk penanggulangan angka stunting. Setiap para aparatur dapat menyesuaikan dengan kebutuhan gampong atau desa.
Ia menjelaskan apabila ada desa yang tidak mengalokasikan dana desa untuk penanganan stunting, maka setiap desa selain desa mandiri, tidak bisa melakukan pencairan dana desa tahap ketiga.
“Kalau banyak anak stunting maka bisa digunakan banyak, sesuai kebutuhan. Jadi ini wajib, kalau ada desa tidak menganggarkan maka tidak bisa cair tahap terakhir, artinya ada punishment (hukuman),” katanya.
Penggunaan dana desa untuk pencegahan dan penurunan stunting ini, katanya, bisa dilakukan melalui pelatihan kesehatan ibu dan anak, pemberian makanan tambahan, penyuluhan dan konseling gizi, peningkatan kapasitas kader posyandu dan kegiatan lainnya.
“Jadi kalau tidak ada anak stunting di desa itu, maka bisa digunakan untuk ibu hamil atau upaya pencegahan stunting lainnya,” kata Zulkifli.
Selain untuk stunting, dana desa juga bisa digunakan untuk penanggulangan penyakit seperti pencegahan diare, penyakit menular, penyakit seksual, HIV/AIDS, tuberkulosis, hipertensi, diabetes mellitus, gangguan jiwa COVID-19 dan penyakit lainnya.
“Pencegahan penyalahgunaan narkoba juga bisa dimanfaatkan, jadi ini bersifat prioritas saja, bukan sifat wajib, sesuai dengan kebutuhan desa diputuskan dalam musyawarah desa,” ujarnya.
Sebelumnya, berdasarkan laporan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2021, di Provinsi Aceh rata-rata terdapat 33,2 persen anak usia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami stunting. Sementara prevalensi stunting secara nasional berada di 24,4 persen.
Dari data SSGI tersebut, Aceh menempati posisi ketiga tertinggi setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada posisi pertama dan Sulawesi Barat pada posisi kedua.
Baca juga: Kepala BKKBN memantau langsung penurunan stunting pada tahun 2023 di Aceh
Baca juga: Aceh menjadikan hari gizi 2023 sebagai momentum untuk mengurangi stunting
Baca juga: BKKBN meminta Aceh bekerja sama untuk mengurangi stunting melalui BAAS
Baca juga: Kepala BKKBN: Aceh memiliki pangan lokal yang melimpah untuk mengatasi stunting
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2023
Tags: