Pulau Rambut, Benteng Terakhir Habitat Bangau Bluwok
16 Mei 2006 13:51 WIB
Jakarta (ANTARA Newss) - Pulau Rambut di Kepulauan Seribu ternyata menjadi habitat endemik dari beberapa jenis burung. Di sini terdapat 61 spesies burung, 26 di antaranya merupakan jenis burung air. Namun dari semua spesies burung yang hidup di Pulau Rambut, bangau bluwok telah lama menjadi primadona yang menarik perhatian para aktivis lingkungan.
Bangau yang bernama latin "mycteria cinerea" ini memiliki tinggi sekitar satu meter. Tubuhnya dibalut bulu bewarna putih dengan kombinasi hitam pada sayap primer dan ekor, bermata coklat dan memiliki paruh kekuningan yang panjang dan melengkung.
Sayangnya, bangau yang cantik ini terancam kepunahan. Di Pulau Rambut saja, populasinya kini bisa dihitung dengan jari. Menurut organisasi pencinta lingkungan Flora-Fauna Indonesia (FFI), lima tahun lalu jumlahnya masih 68 ekor. Tapi sekarang yang tersisa hanya enam ekor saja.
"Uniknya, bangau blowok hanya berkembang biak di pulau ini saja meskipun masih ada puluhan pulau lainnya di Kepulauan Seribu yang belum mereka huni," kata Imanuddin, seorang relawan dari FFI Jakarta di Pulau Rambut beberapa waktu lalu.
Di seluruh dunia, populasi bangau bluwok diperkirakan hanya sekitar 6.000 ekor, 5.000 di antaranya tinggal di Indonesia. Sisanya tersebar di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia.
"Di Indonesia, bangau blowok dapat ditemukan di pantai Indramayu, pantai Cilacap, dan delta sungai Brantas, Sidoarjo. Di Sumatera habitatnya ada di Sumatra Utara dan Aceh," kata Imanuddin.
Pada tahun 2001, Birdlife International memasukkan spesies ini ke dalam kelompok burung yang terancam punah di dunia dengan status rentan (vulnerable). Artinya, spesies ini memiliki peluang punah lebih dari 10 persen dalam waktu 100 tahun, jika tidak ada upaya serius untuk melindunginya.
Akibat Kerusakan Lingkungan
Imanuddin menengarai susutnya populasi bangau di Pulau Rambut tak lepas dari buruknya kualitas lingkungan di sepanjang Teluk Jakarta.
Lahan-lahan basah yang seharusnya menjadi tempat mencari makan bagi burung-burung air, kini telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan dan industri.
"Coba lihat, hampir semua daerah pesisir Jakarta sudah berubah fungsi menjadi kawasan perumahan dan pabrik-pabrik, belum lagi rencana Pemda DKI yang akan mereklamasi kawasan pantai Jakarta. Ini salah satu faktor yang mempercepat musnahnya habitat burung-burung air di Pulau Rambut, khususnya bangau bluwok," ujarnya.
Sejak Teluk Jakarta tak lagi menjadi tempat mencari makan bagi bangau bluwok, mereka terbang hingga ke pesisir pantai utara Jawa, seperti Tangerang, Banten, dan Indramayu untuk mempertahankan hidup.
"Kalau di Vietnam, musnahnya sebagian habitat bangau bluwok di sana adalah akibat invasi tentara Amerika yang mendaratkan pasukan di rawa-rawa, sehingga habitat bangau bluwok menjadi hancur," kata aktivis yang telah enam tahun mengamati perkembangan berbagai jenis burung air ini.
Upaya Pelestarian
Pulau Rambut yang berada di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu secara administratif terletak di Kelurahan Kepulauan Untung Jawa, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Sebagai kawasan suaka margasatwa, pulau yang tak ditinggali oleh manusia ini pengelolaannya berada dalam wewenang Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta.
Pulau seluas 90 hektare ini sebelumnya berstatus sebagai kawasan cagar alam. Status ini melindungi Pulau Rambut dari campur tangan manusia dalam pengelolaan habitat satwa liar di sana. Kini pulau tersebut diubah statusnya menjadi suaka margasatwa agar pihak yang terkait dapat melakukan upaya-upaya pelestarian.
Imanuddin mengungkapkan FFI telah lama berkoordinasi dengan BKSDA untuk mempertahankan keberadaan bangau bluwok di Pulau Rambut. "Setidaknya mempertahankan jumlah yang enam ekor ini," katanya.
Pada puncak musim berkembang-biak antara bulan Januari-Agustus, Pulau Rambut dihuni tak kurang dari 20.000 ekor burung air. Jenisnya antara lain kuntul (egretta alba, intermedia, garzetta), cangak (ardea cinerea, purpurea), pecuk (phalacrocorax sulcirostris, nifer), kowak malam (nycticorax-nycticorax), bangau (mycteria cinerea) dan ibis (plegadis falcinellus, threskiornis melanocephals).
Menurut Imanuddin, bangau bluwok pada musim itu bertelur tak lebih dari empat butir, dengan tingkat keberhasilan tetas hanya separuhnya.
Artinya dari empat telur yang dierami paling banyak yang menjadi anakan cuma dua butir. Sedikitnya jumlah telur itu boleh jadi disebabkan oleh jumlah dan kualitas makanan yang tersedia tidak mencukupi.
Untuk mengatasi semakin menurunnya populasi bangau bluwok, BKSDA berusaha menjaga ekosistem yang ada di Pulau Rambut dengan tidak membuka kawasan ini untuk umum, kecuali untuk penelitian dan pengamatan.
Aksi Burung Perompak
Di Pulau Rambut, `kita` juga bisa menyaksikan "frigate birds show", yaitu aksi sekelompok burung yang terbang melintasi pulau ini dan merampas makanan yang dibawa burung-burung air yang baru kembali dari mencari makan.
Burung-burung itu oleh masyarakat Pulau Untung Jawa disebut burung angin atau burung Cikalang. Jenis ini merupakan burung migran yang berkembang-biak di Pulau Christmas, Australia.
Pada masa tidak berbiak, mereka akan mengembara di beberapa wilayah dunia termasuk Indonesia. Para penerbang jarak jauh ini memanfaatkan embusan angin yang memungkinkannya mereka terbang dengan kebutuhan energi yang minim.
Ketika tidak ada angin, burung bernama latin "fregata ariel" ini cenderung diam dan suka bertengger di bagan-bagan ikan. Di Teluk Jakarta, burung ini menyerang burung air lainnya untuk memperoleh makanan. Itulah sebabnya mereka juga dijuluki burung "perompak".
"Inilah uniknya Pulau Rambut. Kita dapat melihat dengan mata telanjang bagaimana pembajakan makanan antarburung dapat terjadi. Peristiwa itu cuma ada di sini," kata Imanuddin.
Memperhatikan kejadian alam yang langka tersebut, Imanuddin berharap agar burung-burung air yang berhabitat di Pulau Rambut tidak musnah, apalagi jenis bangau bluwok yang sekarang tinggal beberapa ekor saja. (*)
Oleh Oleh Dasri Murtiyoso
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2006
Tags: