Masyarakat Badui Dalam selama 3 bulan tersebut akan menjalani ritual adat penyucian diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selama masa penyucian itu, wisatawan itu tentu dilarang memasuki permukiman Badui Dalam, antara lain, Kampung Cibeo, Cikawartana, dan Cikeusik. Sebab, selama masyarakat Badui Dalam menjalani ritual Kawalu, diperlukan ketenangan.
Oleh karena itu, selama ritual itu berlangsung, wisatawan hanya boleh mendatangi permukiman masyarakat Badui Luar atau Badui penamping.
Tetua adat Badui sekaligus Kepala Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Jaro Saija minta wisatawan mematuhi larangan itu, tidak memaksakan diri memasuki kawasan perkampungan Badui Dalam.
Penetapan Kawalu itu berdasarkan petuah Tetua Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh Lembaga Adat Desa Kanekes dan masyarakat Badui Dalam.
Setelah melaksanakan Kawalu, masyarakat Badui Dalam dan Badui Luar akan turun gunung menggelar Seba Badui dengan mendatangi Bupati Lebak dan Gubernur Banten untuk bersilaturahmi.
Kegiatan Seba Badui bersilaturahmi bersama 'Ibu Gede' Bupati Lebak dan 'Bapak Gede' Gubernur Banten itu juga akan diikuti masyarakat Badui Dalam. Mereka akan berjalan kaki ke Rangkasbitung dan Kota Serang sejauh kurang lebih 160 kilometer pergi-pulang.
Bagi masyarakat Badui, ke mana pun pergi harus berjalan kaki karena dilarang naik atau menumpang kendaraan roda dua maupun roda empat, namun untuk warga Badui Luar boleh naik kendaraan.
"Dengan pelaksanaan Kawalu itu kami berharap masyarakat Badui sejahtera, damai, dan sehat selalu," kata Jaro Saija.
Masyarakat Badui yang berpenduduk 16.000 jiwa dan tersebar di 68 perkampungan itu menjadikan Kawalu sebagai upacara yang wajib dilaksanakan setiap tahun, baik laki-laki, perempuan, kalangan muda hingga orang tua.
Ritual Kawalu merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Badui kepada Sang Maha Kuasa atas anugerah hasil alam yang diberikan.
Kehidupan masyarakat Badui dikenal hanya mengandalkan penghasilan ekonomi dan ketahanan pangan dari huma ladang dengan menanam padi huma, pisang, jagung, jahe, kencur, endog tiwu, sayur-sayuran, dan cabai.
Teadisi Kawalu sudah berlangsung ratusan tahun oleh masyarakat Badui Dalam dan Badui Luar. Ritual ini merupakan upacara adat yang sakral.
Jika masyarakat Badui tidak melaksanakan tradisi Kawalu diyakini akan mengakibatkan musibah dan menimbulkan malapetaka. Oleh karena itu, Kawalu wajib diikuti oleh seluruh warga Badui.
Namun, upacara suci itu hanya dipusatkan di tiga kampung tangtu atau Badui Dalam dengan tiga Puun di masing-masing kampung, yakni Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana.
Pelaksanaan upacara Kawalu bertempat di bale yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggal puun/pemangku adat. Masyarakat Badui Dalam maupun Badui Luar dapat berkumpul dan memenuhi bale itu.
"Kami sebelum lahir, upacara Kawalu sudah ada," kata Jaro Saija.
Selama tradisi Kawalu, perkampungan Cibeo, Cikawartana, dan Cikeusik tertutup baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara setelah ditetapkan oleh lembaga adat setempat. Penutupan dimulai sejak 24 Januari hingga 24 April 2023.
Masyarakat Badui selama ritual Kawalu meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dijauhkan dari marabahaya dan mendatangkan keberkahan dan hidup makmur, sejahtera, dan sehat.
Begitu juga mereka berdoa, agar bangsa dan negara aman, damai, dan sejahtera.
Jaro Tangtu 12 Saidi Yunior mengatakan dirinya sebagai jaro tanggungan 12 atau sebagai peneguh iman. Pelaksanaan puasa Kawalu dilakukan secara serentak oleh masyarakat Badui pada 24 Januari 2023.
Masyarakat Badui yang sudah disunat wajib melaksanakan ibadah puasa. Jika mereka tidak melaksanakan puasa Kawalu akan menjadi beban bagi dirinya sendiri.
Pelaksanaan puasa merupakan bagian upacara Kawalu sehingga masyarakat Badui Dalam dan Badui Luar wajib menjalani ibadah puasa 3 bulan berturut-turut.
Namun, pelaksanaan puasa cukup hanya 1 hari dalam setiap bulan menjalankan ibadah puasa tersebut. Karena itu, dirinya mengajak seluruh masyarakat Badui dapat melakukan ibadah puasa Kawalu.
Puasa hari pertama itu dilakukan tanggal 17 bulan Kasa atau disebut Kawalu Tembey yakni Kawalu pertama.
Selanjutnya, pada bulan kedua dilakukan tanggal 18 bulan Karo atau disebut Kawalu Tengah, sedangkan pada bulan ketiga dilaksanakan tanggal 17 bulan Katilu atau disebut Kawalu Tutug.
Puasa yang dilakukan itu, seperti pada umumnya menjalankan puasa dengan tidak makan dan minum.
Masyarakat Badui sebelum melaksanakan ritual upacara Kawalu terlebih dahulu melakukan gotong royong untuk membersihkan lingkungan.
Kegiatan gotong royong itu dengan melakukan kebersihan selama 3 hari sebelum upacara Kawalu.
Kebersihan itu harus terjaga dengan baik di rumah-rumah dan lingkungan tempat tinggal.
Tokoh Badui Dalam, Ayah Mursid, mengatakan ritual upacara Kawalu wajib dilaksanakan selama 3 bulan dalam setahun dan tujuannya untuk berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberikan keberkahan dan keselamatan.
Selama masa itu, masyarakat Badui Dalam juga dilarang menggelar perkawinan dan sunatan anak yang bisa menimbulkan keramaian.
Senang
Santa (55), warga Badui Luar, mengatakan akan fokus menjalani penyucian diri dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar pertanian ladang menghasilkan panen melimpah, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran warga.
Selama ini, masyarakat Badui belum ditemukan kerawanan pangan maupun kelaparan karena tercukupi pangan dari hasil bercocok tanam di ladang.
Santa mengaku menanam padi huma, palawija, dan sayur-sayuran, yang tumbuh subur di lahan satu hektare milik Perum Perhutani Cicuraheum Gunungkencana.
Kemungkinan memasuki panen padi huma awal Maret 2023 karena padi huma bisa dipanen setelah 6 bulan ditanam.
Setelah menjalani Kawalu selama tiga bulan, warga Badui akan merayakan acara Seba.
Merekan akan membawa hasil Bumi, seperti ketan, beras, pisang, gula aren, sirih, sayuran, dan berbagai macam hasil bumi lainnya.
Hasil Bumi itu nantinya pada acara Seba diserahkan kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Penjabat Gubernur Banten.