Menurut Lestari, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, program tersebut dapat menjadi salah satu upaya dalam mengatasi ragam polemik di tengah masyarakat karena sertifikat kepemilikan tanah yang belum menjamin kepemilikan tanah.
"Ragam polemik dalam masyarakat terjadi karena sertifikat kepemilikan tanah belum menjamin kepemilikan atas bidang tanah benar-benar kuat. Berbagai persoalan kepemilikan tanah muncul karenanya," ujar Lestari.
Dengan demikian, dia pun memandang semua pihak perlu mendukung pelaksanaan program PTSL sebagai langkah dalam mengatasi polemik kepemilikan tanah di Indonesia.
Selain itu, kata dia, upaya sertifikasi tanah berbasis digital dari Pemerintah juga merupakan langkah positif dan harus diikuti dengan upaya pembinaan serta peningkatan literasi digital masyarakat.
Baca juga: Pemerintah telah menerbitkan 109.838 sertifikat tanah wakaf
Baca juga: Wamen ATR/Waka BPN serahkan 26 sertifikat tanah wakaf di Cirebon
Selain Lestari, diskusi daring tersebut juga menghadirkan beberapa narasumber lainnya, yakni Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa dan Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Andi Tenri Abeng.
Dalam kesempatan itu, Andi menegaskan bahwa sertifikat tanah merupakan bukti kepemilikan tanah yang kuat karena di dalamnya tercantum data fisik dan yuridis kepemilikan tanah bersangkutan.
Kemunculan sertifikat ganda atas tanah bisa, lanjut dia, terjadi karena bidang tanah yang bersangkutan belum dimasukkan dalam pendaftaran di BPN. Selain itu, pemegang sertifikat juga tidak menguasai tanah secara fisik.
Bahkan, dalam 6 tahun terakhir, dia menyampaikan bahwa dari 54 juta bidang tanah yang didaftarkan, terdapat sekitar 36,5 juta bidang tanah yang belum bisa diterbitkan sertifikat karena masih menghadapi sejumlah masalah.
Untuk menekan potensi masalah pertanahan lewat kepastian kepemilikan lahan itu, Pemerintah menginisiasi gerakan pemasangan tanda batas terkait dengan kepemilikan tanah di seluruh Indonesia mulai 3 Februari 2023.
Sementara itu, menurut Saan, persoalan tanah merupakan persoalan klasik yang selalu muncul dan berpotensi memicu konflik dan sengketa tanah.
Meskipun begitu, lanjut dia, konflik dan sengketa tanah itu harus bisa diantisipasi oleh Pemerintah, misalnya membuat peta jalan penyelesaian berbagai masalah sengketa atas tanah.
Baca juga: Menteri ATR/BPN proses sertifikat tanah warga di Bali setelah 97 tahun