Jakarta (ANTARA) - Koordinator Ahli di Sekretariat SDGs Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nasional Yanuar Nugroho memandang bahwa pemerintah Indonesia perlu melakukan inovasi dalam membuat kebijakan sehingga diharapkan dapat menjawab ketidakpastian di masa depan.

"Ini saatnya pemerintah memang berinovasi secara kebijakan, mampu melihat masa depan yang tidak pasti tadi, mampu membagi, mampu melihat, mengantisipasi," kata Yanuar dalam dialog kebijakan laporan pembangunan manusia UNDP di Jakarta, Rabu.

Yanuar memandang bahwa cara pemerintah membuat kebijakan masih konvensional dan tidak berubah sejak tahun 1980-an, padahal zaman sudah berubah dengan cepat.

"Saya tidak mengatakan bahwa semuanya mandeg, tidak, tetapi misalnya kebijakan satu data itu baru muncul kapan, kebijakan satu peta," imbuh dia.

Baca juga: Airlangga bahas inovasi kebijakan ekonomi global di forum China

Baca juga: BRIN perkuat ekosistem riset kebijakan inklusif bagi kaum disabilitas


Yanuar mencontohkan tentang kebijakan dalam jaminan kesehatan nasional yang masih berfokus pada kesehatan fisik, sementara kesehatan mental belum menjadi perhatian yang banyak. Selain itu, masalah akses untuk penyandang disabilitas juga harus menjadi perhatian.

Penelitian Indonesia-National Adolescent Mental Survey (I-NAMHS) menunjukkan bahwa 15,5 juta remaja mengalami masalah kesehatan mental dan 2,45 juta remaja mengalami gangguan kesehatan mental.

Kemudian terkait penyandang disabilitas, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 menunjukkan sekitar 17 juta penyandang disabilitas merupakan usia produktif, namun hanya 7,6 juta yang bekerja.

Data-data tersebut, menurut Yanuar, harus menjadi "wake up call" bagi pemerintah Indonesia sebab menunjukkan masalah yang serius.

Di samping itu, Yanuar juga menyoroti tentang cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045, yang menurut dia, akan sangat berat untuk mencapai hal tersebut.

Baca juga: Pemerintah terapkan kebijakan holistik tumbuhkan inovasi teknologi

Indonesia masih terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income). Sementara syarat untuk menjadi negara maju, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai minimal 6 persen.

Yanuar ragu cita-cita tersebut dapat dicapai jika kebijakan membangun negara masih belum berubah seperti sekarang. Arah pembangunan benar, menurut dia, tetapi perlu dipercepat sekaligus mempertimbangkan berbagai elemen penting.

"Kalau Anda mau mengorbankan ilmuwan, Anda mau mengorbankan demokrasi, mengejar pertumbuhan 7 persen cepat. Tapi, kalau Anda mempertahankan daya dukung lingkungan, Anda mempertahankan demokrasi yang baik, mungkin kita tidak akan bisa mengejar 7 persen, 6 persen terengah-engah mungkin," kata Yanuar.

Dia berpendapat bahwa narasi tentang Indonesia menuju negara maju pada 2045 harus diperkaya, tidak hanya dari sisi pemerintah, melainkan juga dari warga negara terutama kaum muda. Dia pun mendorong masyarakat untuk menyuarakan keinginan tentang seperti apa pembangunan yang dicita-citakan.

"Mumpung pemerintah kita ini sedang menyiapkan rencana pembangunan jangka panjang ke 2045, berbicaralah, bersuaralah, ngomong, Indonesia masa depan yang saya mau itu kayak gini, lho. Dan itu bukan hanya yang pemerintah mau," ujar Yanuar.

Baca juga: Universitas Zhejiang paparkan tujuan SDGs

Baca juga: Pemerintah dorong inovasi perumusan kebijakan demi pertumbuhan ekonomi

Baca juga: Airlangga bahas inovasi kebijakan ekonomi global di forum China