Akademisi UI: Akulturasi budaya China sumbang keragaman Indonesia
1 Februari 2023 09:21 WIB
Pakar budaya China, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Rahadjeng Pulungsari Hadi, M.Hum. ((ANTARA/HO: Humas UI).)
Depok (ANTARA) - Pakar budaya China, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr Rahadjeng Pulungsari Hadi, M.Hum., menyatakan akulturasi budaya China menyumbangkan keragaman budaya Indonesia.
"Percampuran budaya, selama masih disebut akulturasi, tidak memberi dampak negatif. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah ketika budaya luar mendominasi dan lebih dielu-elukan daripada budaya sendiri," kata Rahadjeng Pulungsari Hadi di Kampus UI Depok, Rabu.
Menurut dia, mengalirnya arus budaya luar di era globalisasi harus disikapi dengan bijak. "Kita juga harus menjaga budaya negeri sendiri agar terus berdiri dengan kokoh," ucapnya.
Dikatakannya kebudayaan China yang masuk ke Nusantara menambah khazanah budaya Indonesia. Kita tidak perlu khawatir dengan budaya lain yang masuk, karena keragaman budaya Indonesia adalah kekayaan dan kekuatan negeri ini.
Baca juga: Bentara Budaya Bali tampilkan ragam seni akulturasi
"Sepanjang waktu ini, saya melihat generasi sekarang lebih terbuka. Generasi muda etnis China tidak lagi terikat pada trauma-trauma politik, bahkan lebih bebas mengekspresikan diri dan lebur dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan hilangnya sekat-sekat sosial di masyarakat," kata Rahadjeng Pulungsari Hadi.
Akulturasi budaya merupakan salah satu strategi para pendatang untuk dapat bertahan. Melalui akulturasi, masyarakat diaspora mengelaborasikan budaya China dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Akulturasi budaya ini melahirkan kolaborasi yang unik, karena budaya China berpadu dengan budaya Indonesia yang beragam.
Sebagai contoh, akulturasi budaya China di Sumatera melahirkan produk yang berbeda dengan akulturasi di Jawa, begitu juga dengan daerah lain. Kebaya Encim misalnya, merupakan produk modifikasi pakaian khas peranakan China yang disesuaikan warnanya dengan selera masyarakat Betawi. Sementara itu, di pesisir Jawa, muncul ragam motif baru pada batik Indonesia berupa gambar burung phoenix, naga, serta tumbuhan dan satwa yang disusun seperti dalam seni lukis China.
Rahadjeng menyebut pada mulanya, motif berciri khas China diperkenalkan melalui keramik, guci, atau benda lain yang dibawa untuk diperdagangkan oleh saudagar China yang datang dengan kapal besar.
Karena perjalanan dari China ke Nusantara memerlukan waktu yang lama, mereka membawa makanan, herbal, dan obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan selama dalam perjalanan. Ketika mereka berlabuh dan menetap di sebuah wilayah, terjadi akulturasi pada aspek sandang, pangan, dan bidang lainnya.
Baca juga: Dialog budaya bahas akulturasi Tionghoa dan Bali
Baca juga: Pengamat: "Tepung tawar" bukti akulturasi islam dan budaya Melayu
Menurutnya, yang menjadi tantangan bagi masyarakat diaspora di seluruh dunia adalah ketika datang ke perantauan, mereka tidak memiliki wilayah. Sebagai pendatang, masyarakat diaspora harus mampu beradaptasi, sebagaimana yang dilakukan diaspora China di Indonesia.
Meski tetap memelihara budayanya, pendatang dapat beradaptasi dengan kehidupan setempat. Pada tahap ini, percampuran atau akulturasi budaya terjadi dan identitas nasional terbentuk dengan tetap memperlihatkan identitas budayanya.
"Identitas para perantau terus bergerak, karena tidak bersifat tetap. Mereka perlahan-lahan mengalami proses menjadi atau becoming, tetapi tetap mempertahankan budaya asalnya. Inilah yang menjadi kekhasan dari masyarakat diaspora. Masyarakat diaspora pada umumnya mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari wilayah yang ia tinggali," kata Rahadjeng.
"Percampuran budaya, selama masih disebut akulturasi, tidak memberi dampak negatif. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah ketika budaya luar mendominasi dan lebih dielu-elukan daripada budaya sendiri," kata Rahadjeng Pulungsari Hadi di Kampus UI Depok, Rabu.
Menurut dia, mengalirnya arus budaya luar di era globalisasi harus disikapi dengan bijak. "Kita juga harus menjaga budaya negeri sendiri agar terus berdiri dengan kokoh," ucapnya.
Dikatakannya kebudayaan China yang masuk ke Nusantara menambah khazanah budaya Indonesia. Kita tidak perlu khawatir dengan budaya lain yang masuk, karena keragaman budaya Indonesia adalah kekayaan dan kekuatan negeri ini.
Baca juga: Bentara Budaya Bali tampilkan ragam seni akulturasi
"Sepanjang waktu ini, saya melihat generasi sekarang lebih terbuka. Generasi muda etnis China tidak lagi terikat pada trauma-trauma politik, bahkan lebih bebas mengekspresikan diri dan lebur dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan hilangnya sekat-sekat sosial di masyarakat," kata Rahadjeng Pulungsari Hadi.
Akulturasi budaya merupakan salah satu strategi para pendatang untuk dapat bertahan. Melalui akulturasi, masyarakat diaspora mengelaborasikan budaya China dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Akulturasi budaya ini melahirkan kolaborasi yang unik, karena budaya China berpadu dengan budaya Indonesia yang beragam.
Sebagai contoh, akulturasi budaya China di Sumatera melahirkan produk yang berbeda dengan akulturasi di Jawa, begitu juga dengan daerah lain. Kebaya Encim misalnya, merupakan produk modifikasi pakaian khas peranakan China yang disesuaikan warnanya dengan selera masyarakat Betawi. Sementara itu, di pesisir Jawa, muncul ragam motif baru pada batik Indonesia berupa gambar burung phoenix, naga, serta tumbuhan dan satwa yang disusun seperti dalam seni lukis China.
Rahadjeng menyebut pada mulanya, motif berciri khas China diperkenalkan melalui keramik, guci, atau benda lain yang dibawa untuk diperdagangkan oleh saudagar China yang datang dengan kapal besar.
Karena perjalanan dari China ke Nusantara memerlukan waktu yang lama, mereka membawa makanan, herbal, dan obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan selama dalam perjalanan. Ketika mereka berlabuh dan menetap di sebuah wilayah, terjadi akulturasi pada aspek sandang, pangan, dan bidang lainnya.
Baca juga: Dialog budaya bahas akulturasi Tionghoa dan Bali
Baca juga: Pengamat: "Tepung tawar" bukti akulturasi islam dan budaya Melayu
Menurutnya, yang menjadi tantangan bagi masyarakat diaspora di seluruh dunia adalah ketika datang ke perantauan, mereka tidak memiliki wilayah. Sebagai pendatang, masyarakat diaspora harus mampu beradaptasi, sebagaimana yang dilakukan diaspora China di Indonesia.
Meski tetap memelihara budayanya, pendatang dapat beradaptasi dengan kehidupan setempat. Pada tahap ini, percampuran atau akulturasi budaya terjadi dan identitas nasional terbentuk dengan tetap memperlihatkan identitas budayanya.
"Identitas para perantau terus bergerak, karena tidak bersifat tetap. Mereka perlahan-lahan mengalami proses menjadi atau becoming, tetapi tetap mempertahankan budaya asalnya. Inilah yang menjadi kekhasan dari masyarakat diaspora. Masyarakat diaspora pada umumnya mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari wilayah yang ia tinggali," kata Rahadjeng.
Pewarta: Feru Lantara
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023
Tags: