Mahkamah Konstitusi tolak gugatan pengujian KUHP
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin jalannya sidang pengujian materiil UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan agenda pembacaan amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/1/2023). Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menolak permohonan uji materiil Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait pernikahan beda agama yang diajukan pemohon Ramos Petege, seorang Katolik yang hendak menikahi seorang perempuan beragama Islam. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.
"Menolak seluruh permohonan pemohon," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 86/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa.
Dalam argumentasinya, Robiyanto melalui kuasa hukumnya menyampaikan sejumlah hal yang termuat dalam pokok permohonan pemohon, di antaranya terkait kedaluwarsa masa penuntutan 18 tahun setelah tindak pidana dilakukan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, tidak memberikan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Termasuk perlakuan yang sama di depan hukum dan dalam menjalankan hak serta kebebasannya tidak memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis yang berkeadilan sosial.
Hal itu, lanjut pemohon, sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, pasal 27 ayat (1), pasal 28J ayat (1) dan pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Menurut pemohon, ketentuan pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP mengakibatkan polisi dan Kejaksaan Agung tidak dapat melanjutkan penyidikan dan penuntutan dalam proses hukum terhadap lima orang tersangka lainnya.
Pemberhentian penyidikan dan penuntutan mengakibatkan ketidakadilan bagi pemohon selaku keluarga korban karena seharusnya para tersangka lainnya juga menerima hukuman yang sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan.
Kemudian, menurut pemohon, kedaluwarsa masa penuntutan 18 tahun setelah tindak pidana dilakukan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, seharusnya diubah menjadi kedaluwarsa penuntutan seumur hidup.
Hal ini dilakukan agar setiap pelaku kejahatan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup menjadi jera dan tidak akan melakukan tindak pidana kembali.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, pemohon memohon kepada sembilan hakim MK agar menyatakan pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup adalah "seumur hidup pelaku".
Terakhir, pada bagian konklusi, Ketua MK Anwar Usman menyatakan pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023