Probolinggo, Jawa Timur (ANTARA) - Dusun Sumber Kapong, Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, dikenal sebagai Kampung Sentra Energi Terbarukan atau populer disebut Kampung Strom. Karena, dusun di lereng Gunung Argopuro, Jawa Timur, ini bisa mandiri memproduksi listrik.
Perjalanan menuju Kampung Strom memerlukan waktu sekitar 2 jam dari Kota Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, dengan jalan yang berkelok-kelok.
Namun, perjalanan dengan medan berat itu terbayar dengan suguhan indah pemandangan alam. Sepanjang perjalanan, orang akan disuguhi lanskap asri dan hamparan hijau perkebunan mengingat lokasinya berada pada ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut (mdpl).
Sepintas memang tidak ada yang istimewa dengan dusun yang berada di lereng Pegunungan Hyang atau Argopuro itu. Akan tetapi, dari balik kesunyian, warga di Kampung Strom yang berada di dusun tersebut sudah mandiri energi listrik sejak puluhan tahun silam.
Ada 200 keluarga yang mendiami dusun itu yang mendapatkan aliran listrik dengan memanfaatkan energi baru terbarukan mikro hidro, yakni memanfaatkan aliran sungai kecil yang melaluinya. Dari energi gerak itu dikonversi menjadi tenaga listrik.
Ada tiga pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) yang digunakan yang menghasilkan 1.200 kilo volt dan mampu mengaliri listrik bagi sekitar 600 keluarga di tiga desa.
"Puluhan tahun lalu dusun kami gelap gulita, sekarang terang benderang. Tak perlu khawatir ada pemadaman, listriknya menyala 24 jam," kata Pengelola PLTMH yang juga tokoh masyarakat Dusun Sumber Kapong, Mohammad Rasid.
Ihwal kampungnya merdeka listrik, bermula ketika ia bersama istrinya, Suryani, berkunjung ke rumah pamannya di Kabupaten Jember sekitar tahun 1993. Ia melihat rumah pamannya yang bermukim di perkebunan eks Belanda itu diterangi oleh listrik mandiri.
Energi itu didapat dari dinamo yang digerakkan oleh kincir air sehingga ia berpikir kenapa hal tersebut tidak diterapkan di daerahnya di Dusun Sumber Kapong yang lokasinya mirip dengan di Jember.
Ide itu muncul karena ada kesamaan kontur tanah antara di Jember dengan di tempat tinggalnya, yakni di balik perbukitan dan air sungai mengalir deras. Aliran sungai yang melewati perbukitan itulah yang coba dimanfaatkan.
Rasid kemudian menjual sapi dan perhiasan emas istrinya untuk membiayai proyek PLTMH dengan cara meniru membuat baling-baling atau kincir dari aliran sungai. Namun, kala itu justru ide tersebut mendapat cibiran dari warga. Bahkan ia dianggap gila karena hendak mengubah air menjadi energi listrik.
Meski dicemooh, ayah dua anak itu tetap melanjutkan angan-angannya untuk membuat energi listrik dari kincir air. Akhirnya listrik yang diproduksi dari putaran baling-baling tersebut sukses.
Meluas
Awalnya, listrik yang dihasilkan belum stabil karena dirinya tidak terlalu paham ilmu kelistrikan. Namun, baginya yang penting listriknya bisa menyalakan lampu.
Setelah idenya diaplikasikan puluhan tahun lalu, sampai kini PLTMH mampu menerangi perkampungan bahkan meluas ke tiga desa di Kecamatan Tiris.
Jika awalnya menggunakan baling-baling, kini PLTMH itu memakai turbin. Tiga PLTMH yang dikelola Kelompok Tirta Pijar itu mampu menghasilkan listrik 105 kilo volt ampere (KVA) yang berasal dari dua generator, masing-masing berkekuatan 40 KVA dan satu generator 25 KVA.
Listrik yang dihasilkan tersebut dialirkan kepada 600 keluarga dan pelanggan listriknya tidak hanya mencakup dusun setempat di Dusun Sumber Kapong, tapi lintas desa dan antar-kecamatan.
Untuk Kecamatan Tiris, desa yang menikmati setrum itu yakni Desa Angdungbiru dan Desa Tiris, kemudian tiga dusun di Desa Sumberduren dan dua dusun di Desa Roto yang berada di Kecamatan Krucil.
Adapun cara kerja PLTMH di desanya, pertama arus akan melewati pintu air yang berfungsi sebagai penyaring dari daun dan ranting pohon yang terbawa aliran sungai. Saringan itu terletak di bagian atas sungai dan terbuat dari besi yang dicat warna biru.
Selanjutnya, arus air akan diarahkan menuju turbin melalui pipa besi berdiameter sekitar 40 sentimeter. Pipa itu memiliki panjang 200 meter, terhitung dari lokasi pintu air menuju turbin yang terletak di dalam sebuah bangunan.
Arus air yang datang dari ketinggian itu kemudian menabrak turbin sehingga menciptakan gerakan sentripetal yang memicu dorongan kepada generator.
Proses tersebut menimbulkan suara bising yang terdengar hingga radius 30 meter. Usai menggerakkan turbin, air yang arusnya sudah tak terlalu deras akan ditampung di sebuah bak untuk diarahkan kembali ke sungai.
"Listrik yang dihasilkan dari proses tersebut selanjutnya disalurkan melalui jaringan kabel ke ratusan rumah yang berada di beberapa desa di dua kecamatan di Probolinggo," kata Rasid yang juga Ketua Kelompok Tirta Pijar.
Pembayaran unik
Listrik yang dihasilkan dari PLTMH tersebut tidak hanya digunakan untuk penerangan di rumah, juga digunakan untuk keperluan lainnya seperti mengoperasikan alat pengolahan kopi, alat mebel, menyalakan televisi, dan lainnya. Keberadaan PLTMH ini mampu menggerakkan perekonomian warga selama puluhan tahun.
Salah seorang warga di Desa Sumberduren di Kecamatan Krucil, Joko, mengatakan bahwa listrik yang dihasilkan PLTMH dari Dusun Sumber Kapong digunakan untuk usahanya mengelola kopi dan keberadaannya bermanfaat bagi warga.
Yang paling banyak menikmati listrik yang dikelola oleh Kelompok Tirta Pijar adalah warga di Desa Sumberduren, yakni sekitar 300 keluarga.
Warga ditarik iuran sesuai pemakaian dengan tarif cukup murah. Dari iuran itu, pengelola menggunakan untuk biaya perbaikan, perawatan, dan honor pengurus kelompok yang menjaga dan merawat turbin agar berjalan dengan baik.
Warga yang memanfaatkan listrik hanya membayar Rp500 per kilowatt jam (kwh). Tiap bulan warga akan ditarik iuran dengan nominal yang berbeda, tergantung dari jumlah pemakaian dan besaran instalasi listrik yang mereka pasang di rumahnya.
Rata-rata warga membayar iuran dari Rp30.000 hingga 70.000 setiap bulan. Sistem pembayaran listriknya juga tergolong unik.
Pembayaran listrik tersebut disesuaikan dengan kemampuan warga yakni kapan mereka bisa membayarnya sehingga waktunya juga tidak menentu, kadang sebulan, kadang musiman, tergantung kemampuan warga.
Apabila warga tidak memiliki uang, maka pembayaran juga bisa menggunakan hasil panen warga seperti hasil Bumi berupa kopi, pisang, juga hewan ternak, seperti ayam karena yang penting nilainya setara dengan iuran listrik yang harus dibayarkan.
Sekretaris Desa Andungbiru, Asrawi, mengatakan pemerintah desa juga berencana menggandeng Kelompok Tirta Pijar untuk memperluas jaringannya ke empat dusun lainnya yakni Krajan, Klakah, Kedaton, dan Lawang Kedaton.
Empat dusun itu memang sudah dialiri listrik dari perusahaan negara, namun belum optimal terutama pada penerangan jalan sehingga perlu menambah pasokan listrik mandiri energi terbarukan yang dikelola Mohamad Rasid dkk. Hal ini dilakukan agar semua warga bisa menikmati listrik energi terbarukan dengan harga terjangkau.
Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik, dan Persandian Kabupaten Probolinggo Yulius Christian menyatakan dua dari tiga turbin yang dikelola Kelompok Tirta Pijar merupakan bantuan dari program CSR salah satu perusahaan di Kabupaten Probolinggo.
Pemerintah Kabupaten Probolinggo selalu mendukung penuh program CSR dari perusahaan untuk mempercepat pembentukan desa mandiri listrik di wilayah Kabupaten Probolinggo.
Keberadaan Kampung Dusun Sumber Kapong diharapkan menginspirasi daerah lain untuk bisa menghasilkan setrum sendiri dengan memanfaatkan energi gerak aliran sungai dikonversi menjadi tenaga listrik.
Artikel
Sumber Kapong, dusun yang puluhan tahun mandiri listrik
Oleh Zumrotun Solichah
30 Januari 2023 19:02 WIB
PLTMH di Dusun Sumber Kapong yang menghasilkan energi istrik untuk warga. ANTARA/HO-Diskominfo Kabupaten Probolinggo
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023
Tags: