Jakarta (ANTARA) - Pakar Demografi dari Universitas Indonesia (UI) Elda Luciana Pardede meminta pemerintah untuk fokus memperhatikan kualitas penduduk, dibandingkan meributkan resesi seks yang tidak terjadi di Indonesia.

“Kita perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Mulai dari lahir, mulai dari janin sampai dewasa, itu yang penting kalau kita ingin memiliki manusia berkualitas, agar bangsa kita bisa sejahtera ke depannya,” kata Elda dalam Apa Kabar Indonesia Malam yang disaksikan di Jakarta, Sabtu.

Menanggapi resesi seks yang terjadi seperti di negara Jepang dan Korea Selatan, Elda menyatakan kesetujuanya dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahwa Indonesia masih jauh dari resesi seks.

Hal tersebut dibuktikan dengan angka kesuburan total (TFR) Indonesia yang hampir menyentuh angka 2,1. Angka itu juga memperlihatkan pertumbuhan penduduk yang masih aman di masa depan.

Baca juga: BKKBN: Pertumbuhan penduduk terjaga seimbang dan tak ada resesi seks

Baca juga: Presiden Jokowi: Di Indonesia tidak ada resesi seks


Capaian pada angka TFR yang baik, membuat Indonesia juga masih jauh dari penurunan jumlah penduduk (minus growth), seperti layaknya banyak negara maju di Benua Eropa.

“Kalau dari sisi angka TFR 2,1 kita seperti dapat gol kalau dari sisi demografi. Jadi mereka yang lahir, bisa menggantikan orang yang berikutnya. Kita ingin suatu saat penduduknya lebih stabil, bayangannya seperti itu idealnya, tapi tadi kita punya jumlah penduduk yang besar,” ujarnya.

Menurutnya, dibandingkan meributkan resesi seks, Indonesia dihadapkan dengan masalah lainnya yakni jumlah kelahiran bayi yang semakin meningkat dalam keluarga.

“Kelahiran bayi tiap tahun itu memang besar, itu masalahnya. Jutaan dan mereka ini apakah ada anggaran, misalnya atau apakah orang tuanya cukup berada, itu yang jadi masalah,” kata Elda.

Dia menjelaskan duduk permasalahan bukan terletak pada jumlah anak tersebut, melainkan kondisi keluarganya seperti dalam aspek ekonomi yang sulit dan pendidikan yang jauh lebih rendah. Di mana dapat mempengaruhi kualitas anak di masa depan.

“Kalau kita kuliti ke dalam bukan angka dua (anak) ini (yang harus dilihat), tapi angka dua ini terdiri dari siapa saja? Misalnya, mereka (keluarga) yang lebih berada, anaknya lebih sedikit dibandingkan (keluarga) pendidikan rendah jadi itu masalahnya,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Elda turut menyarankan kepada tiap provinsi yang memiliki angka TFR lebih dari 2,1 untuk menurunkannya, lewat pengentasan yang digencarkan terutama pada kantung-kantung kemiskinan.

Setiap pemerintah daerah harus menyadari bahwa pengendalian kelahiran, juga bisa menyasar pada pengentasan kemiskinan.

“Jadi pemerintah daerah atau kepala daerah bisa melihat bahwa pengendalian kelahiran itu juga bisa menyasar kepada pengentasan kemiskinan. Itu harus disadari jadi provinsi yang TFR-nya masih tiga untuk berjuang ke arah sana,” ujar Elda.*

Baca juga: BKKBN nyatakan butuh waktu lama bagi RI untuk alami resesi seks