Artikel
Sisa trauma gempa manitudo 5,6 Cianjur
Oleh Ahmad Fikri
25 Januari 2023 15:42 WIB
Posko pengungsian di Kampung Ciputri Kaler, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, dibangun warga di tengah perkebunan untuk menghindari gempa susulan yang kerap terjadi setelah gempa pertama 5.6 magnitudo.(ANTARA/Ahmad Fikri). (Ahmad Fikri)
Cianjur (ANTARA) - Gempa dengan magnitudo 5,6 yang mengguncang Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022) masih menyisakan trauma dan ketakutan yang mendalam bagi warga di sejumlah desa terdampak, terutama mereka yang tinggal di pusat dan jalur gempa yang dikenal dengan Sesar Cugenang.
Beberapa kali gempa bermagnitudo di atas 2,0 yang dirasakan cukup kencang, membuat panik warga, terutama yang baru kembali ke rumah, setelah lebih dari satu bulan hidup di dalam tenda komunal atau tenda mandiri karena takut gempa susulan dapat merusak rumah.
Saat gempa bermagnitudo 4,3 yang kembali mengguncang Cianjur, Selasa (24/1/2023) dini hari, membuat warga yang sudah kembali tenang berada di rumah, memilih untuk mengisi tenda darurat yang dibangun di samping atau di depan rumahnya karena merasakan trauma kembali datang.
Tenda menjadi tempat tinggal teraman untuk menghindari dampak gempa yang masih mereka ingat menyebabkan sanak saudara atau tetangga meninggal karena tertimpa bangunan rumah yang ambruk, dua bulan yang lalu.
Menjelang malam warga yang tinggal di desa terdampak, terutama yang berdekatan dengan titik gempa dengan magnitudo 5,6 di Desa Sarampad, kembali menghuni tenda karena kembali was-was gempa dapat terjadi kapanpun, khususnya pada malam hari, ketika mereka terlelap tidur.
Bagi mereka, tenda menjadi tempat tinggal yang aman, terutama pada malam hari, karena beberapa kali gempa susulan yang cukup kencang terjadi malam dan dini hari.
"Trauma dan rasa takut masih ada, sehingga tenda menjadi pilihan untuk beristirahat ketika malam tiba," kata Ujang (32), warga Desa Benjod, Kecamatan Cugenang, dalam perbincangan dengan ANTARA.
Trauma dan ketakutan yang sempat hilang dari kehidupan warga terdampak karena ingin segera pulih dan kembali bangkit, belum berakhir. Setiap malam tiba, mereka meminta pada Sang Kuasa melalui doa agar bencana tidak lagi melanda perkampungan di Cianjur.
Badan Geologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat sesar atau patahan yang menjadi penyebab gempa bermagnitudo 5,6 yang merusak puluhan ribu rumah warga di sejumlah kecamatan terparah di Kabupaten Cianjur, seperti Pacet, Cugenang, Cianjur dan Warunkondang, dikenal dengan Sesar Cugenang.
Cianjur masuk ke dalam zona sesar yang sangat kompleks dan sangat aktif. Terdapat banyak sekali sesar yang mengelilinginya dan sebagian besar merupakan bagian atau sistem dari Sesar Cimandiri, termasuk Sesar Cugenang, yang diduga merupakan bagian dari Sesar Cimandiri.
Berdasarkan data aktivitas kegempaan BMKG sejak tahun 2008, sesar tersebut sangat aktif, bahkan BMKG menyebutkan pada zona sesar tersebut, terutama pada zona Sesar Cimandiri, ditemukan aktivitas kegempaan yang kemungkinan berasal dari patahan yang belum terpetakan atau teridentifikasi.
Peta kegempaan milik BMKG mencatat masih banyak klaster sesar aktif yang belum terpetakan, seperti Sesar Cugenang yang baru teridentifikasi. Sesar yang belum terpetakan harus menjadi kewaspadaan semua pihak karena dikhawatirkan akan terjadi aktivitas kegempaan yang merusak.
Dengan demikian, BMKG tidak hanya fokus pada sesar yang sudah terpetakan, seperti Sesar Cugenang, namun sejak jauh hari sudah diketahui kalau keberadaan sesar tersebut aktif. Pemerintah daerah diminta untuk melihat aspek histori atau sejarah kegempaan di wilayah itu.
Pada Tahun 1879 dan 1897 BMKG mencatat di wilayah Cugenang pernah terjadi gempa, tapi tidak teridentifikasi sesarnya, sehingga Tahun 2022 kembali terulang gempa, setelah dilakukan identifikasi ulang ditemukan titik gempa sangat banyak, sehingga ratusan gempa susulan sempat tercatat.
Dalam catatan BMKG, meskipun Cianjur dikelilingi banyak sesar, masyarakat diimbau tidak panik dan pemerintah daerah mulai menata kembali tata ruang sesuai dengan rekomendasi BMKG, termasuk saat membangun rumah harus dengan spesifikasi tahan gempa.
Pencegahan atau mitigasi bencana gempa bumi yang dilakukan BMKG adalah dengan mengidentifikasi kluster patahan dan menyosialisasikan hasil kajian ke pemerintah dan tidak membuka hasilnya ke publik secara umum agar tidak menimbulkan kecemasan.
Sesar Cugenang yang menjadi penyebab gempa bermagnitudo 5,6 di Cianjur diduga merupakan bagian dari Sesar Cimandiri, meski sifatnya masih dugaan, namun perlu kajian lebih mendalam untuk membuktikan hipotesis tersebut.
Sesar Cimandiri merupakan segmen sesar yang kompleks karena terdapat beberapa klaster patahan yang diketahui ternyata merupakan bagian dari Sesar Cimandiri, seperti Sesar Nyalindung-Cibeber, Sesar Rajamandala, dan segmen Sesar utama Cimandiri.
Kajian dan pemetaan segmen yang terhubung dengan Sesar Cimandiri harus terus dilakukan agar menjadi kewaspadaan semua pihak karena patahan yang sudah terpetakan atau belum harus menjadi perhatian bersama guna meningkatkan kewaspadaan di kemudian hari.
Saksi gempa
Bumi berguncang hebat dengan gempa bermagnitudo 5,6 pada Senin (21/11/2022) sekitar pukul 11.45 WIB, membuat warga di sebagian besar wilayah Kabupaten Cianjur, terutama bagian utara, berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri dari dampak gempa yang meluluhlantakkan perkampungan.
Mereka melihat sendiri sanak saudara, anggota keluarga, bahkan tetangga yang tidak berhasil keluar dari dalam rumah, tertimpa bangunan yang ambruk merengut nyawa pemiliknya. Jasad bergelimpangan menjadi pemandangan menyeramkan yang sulit untuk mereka lupakan.
Bahkan mereka yang mengalami luka-luka tidak dapat berbuat banyak dan hanya bisa pasrah mendapat pengobatan seadanya sambil menunggu pusat layanan kesehatan berfungsi normal keesokan hari atau memaksakan diri mendatangi rumah sakit menggunakan sepeda motor karena jalan utama desa terjadi kemacetan.
Hingga malam pertama setelah gempa aliran listrik tidak menyala di desa terdampak parah, seperti Kecamatan Cianjur, Cugenang, Warungkondang dan Pacet, sehingga menyulitkan aparat TNI/Polri, petugas, relawan dari berbagai organisasi kemanusiaan untuk melakukan evakuasi.
Berbagai cerita sebelum gempa terjadi menjadi kisah duka bagi warga di sejumlah desa terdampak parah karena mereka melihat tanah bergerak seperti ombak, sebelum akhirnya meratakan perkampungan dengan korban jiwa meninggal sebanyak 605 orang akibat tertimpa bangunan rumah yang ambruk.
Rismayani (42), warga Kampung Cisarua, Desa Sarampad, Kecamatan Cugenang, menceritakan sebelum gempa terjadi dia dan beberapa orang tetangganya sempat mendengar suara gemuruh yang sangat kencang dibarengi dengan gempa dan tanah terbelah membuat rumah di sekelilingnya ambruk.
Dia yang mengendong cucunya saat itu, hendak pulang setelah berbelanja di warung yang berjarak beberapa meter dari rumahnya, tiba-tiba seperti berjalan sempoyongan karena getaran gempa yang hebat dirasakan, selang beberapa detik dia melihat semua rumah di kampungnya ambruk.
Termasuk rumah yang sudah dihuni sejak dia lahir hingga memiliki dua orang cucu, ambruk rata dengan tanah menimpa anak, menantu dan cucunya yang lain. Ketiga jasad orang yang dicintainya itu, baru berhasil dievakuasi pada hari ketiga setelah gempa.
"Tidak pernah saya bayangkan akan kehilangan mereka di depan mata saya, saya melihat rumah yang saya tempati sejak lahir rata dengan tanah mengubur ketiga orang yang sangat saya cintai. Untuk ke depan saya tidak mungkin tinggal lagi di kampung ini," katanya.
Hal yang sama dirasakan Nendih (49), warga Kampung Rawacina, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, sempat melihat tanah bergerak naik turun layaknya ombak di tengah lautan diiringi suara gemuruh yang sangat kencang, lalu terbelah dan meratakan setiap bangunan di atasnya.
Tanah terbelah mulai terlihat dari arah barat di area persawahan yang berbatasan dengan Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, kemudian menjalar ke kolam ikan miliknya, perkampungan warga hingga ke jalan penghubung antarkampung.
"Tidak hanya meratakan bangunan, namun sejumlah rumah di kampung kami ini, ambruk dan amblas, sekitar 214 rumah rata dengan tanah, 16 orang warga meninggal karena tertimpa bangunan, beruntung saat kejadian anggota keluarga saya tidak berada di rumah," katanya.
Tidak jauh berbeda dengan Nedih dan Rismayani, Udin (56), warga Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, melihat dengan jelas tanah bergerak seperti ombak saat bekerja di kebun miliknya yang hanya berjarak beberapa belas meter dari longsor Sate Sinta-Cijedil dan Mangunkerta.
Udin yang mendengar gemuruh sangat kencang langsung merebahkan diri ke tanah, saat membuka mata dia melihat tanah bergelombang layaknya ombak terus bergerak ke bagian bawah, dimana terdapat ratusan rumah milik warga yang langsung ambruk disapu longsoran tanah akibat gempa.
"Saya tidak bisa berbuat banyak, saya hanya bisa memandang longsor disertai gempa menyapu perkampungan warga yang sebagian besar tertimpa dan terkubur bersama bangunan rumahnya. Sampai hari ini, saya masih takut untuk menggarap lahan dan melihat perkampungan yang hilang," katanya.
Mereka yang menjadi saksi keganasan gempa magnitudo 5,6 itu, hanya bisa pasrah dan berharap masih bisa tinggal di perkampungan yang sejak turun temurun dari nenek moyangnya mereka tempati, namun tidak sedikit yang memilih relokasi untuk menghilangkan trauma karena kehilangan anggota keluarganya.
Sehingga pemerintah menyiapkan lahan relokasi di dua tempat seperti di Kecamatan Cilaku dan Mande, dimana di kedua lokasi tercatat sudah dibangun 350 rumah untuk warga korban gempa yang kampungnya terletak di zona merah Sesar Cugenang.
Namun untuk memberikan pengertian agar warga dapat dengan sukarela meninggalkan kampungnya, pemerintah daerah harus menggencarkan sosialisasi terkait dampak gempa yang entah kapan akan lagi terjadi sehingga warga dapat memahaminya.
Pemerintah juga harus mendengarkan ketika warga menolak direlokasi karena berbagai alasan, sehingga ke depan pemerintah dapat memberikan apa yang mereka inginkan termasuk ladang usaha untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga-nya sehari-hari tidak hanya memberikan janji.
Beberapa kali gempa bermagnitudo di atas 2,0 yang dirasakan cukup kencang, membuat panik warga, terutama yang baru kembali ke rumah, setelah lebih dari satu bulan hidup di dalam tenda komunal atau tenda mandiri karena takut gempa susulan dapat merusak rumah.
Saat gempa bermagnitudo 4,3 yang kembali mengguncang Cianjur, Selasa (24/1/2023) dini hari, membuat warga yang sudah kembali tenang berada di rumah, memilih untuk mengisi tenda darurat yang dibangun di samping atau di depan rumahnya karena merasakan trauma kembali datang.
Tenda menjadi tempat tinggal teraman untuk menghindari dampak gempa yang masih mereka ingat menyebabkan sanak saudara atau tetangga meninggal karena tertimpa bangunan rumah yang ambruk, dua bulan yang lalu.
Menjelang malam warga yang tinggal di desa terdampak, terutama yang berdekatan dengan titik gempa dengan magnitudo 5,6 di Desa Sarampad, kembali menghuni tenda karena kembali was-was gempa dapat terjadi kapanpun, khususnya pada malam hari, ketika mereka terlelap tidur.
Bagi mereka, tenda menjadi tempat tinggal yang aman, terutama pada malam hari, karena beberapa kali gempa susulan yang cukup kencang terjadi malam dan dini hari.
"Trauma dan rasa takut masih ada, sehingga tenda menjadi pilihan untuk beristirahat ketika malam tiba," kata Ujang (32), warga Desa Benjod, Kecamatan Cugenang, dalam perbincangan dengan ANTARA.
Trauma dan ketakutan yang sempat hilang dari kehidupan warga terdampak karena ingin segera pulih dan kembali bangkit, belum berakhir. Setiap malam tiba, mereka meminta pada Sang Kuasa melalui doa agar bencana tidak lagi melanda perkampungan di Cianjur.
Badan Geologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat sesar atau patahan yang menjadi penyebab gempa bermagnitudo 5,6 yang merusak puluhan ribu rumah warga di sejumlah kecamatan terparah di Kabupaten Cianjur, seperti Pacet, Cugenang, Cianjur dan Warunkondang, dikenal dengan Sesar Cugenang.
Cianjur masuk ke dalam zona sesar yang sangat kompleks dan sangat aktif. Terdapat banyak sekali sesar yang mengelilinginya dan sebagian besar merupakan bagian atau sistem dari Sesar Cimandiri, termasuk Sesar Cugenang, yang diduga merupakan bagian dari Sesar Cimandiri.
Berdasarkan data aktivitas kegempaan BMKG sejak tahun 2008, sesar tersebut sangat aktif, bahkan BMKG menyebutkan pada zona sesar tersebut, terutama pada zona Sesar Cimandiri, ditemukan aktivitas kegempaan yang kemungkinan berasal dari patahan yang belum terpetakan atau teridentifikasi.
Peta kegempaan milik BMKG mencatat masih banyak klaster sesar aktif yang belum terpetakan, seperti Sesar Cugenang yang baru teridentifikasi. Sesar yang belum terpetakan harus menjadi kewaspadaan semua pihak karena dikhawatirkan akan terjadi aktivitas kegempaan yang merusak.
Dengan demikian, BMKG tidak hanya fokus pada sesar yang sudah terpetakan, seperti Sesar Cugenang, namun sejak jauh hari sudah diketahui kalau keberadaan sesar tersebut aktif. Pemerintah daerah diminta untuk melihat aspek histori atau sejarah kegempaan di wilayah itu.
Pada Tahun 1879 dan 1897 BMKG mencatat di wilayah Cugenang pernah terjadi gempa, tapi tidak teridentifikasi sesarnya, sehingga Tahun 2022 kembali terulang gempa, setelah dilakukan identifikasi ulang ditemukan titik gempa sangat banyak, sehingga ratusan gempa susulan sempat tercatat.
Dalam catatan BMKG, meskipun Cianjur dikelilingi banyak sesar, masyarakat diimbau tidak panik dan pemerintah daerah mulai menata kembali tata ruang sesuai dengan rekomendasi BMKG, termasuk saat membangun rumah harus dengan spesifikasi tahan gempa.
Pencegahan atau mitigasi bencana gempa bumi yang dilakukan BMKG adalah dengan mengidentifikasi kluster patahan dan menyosialisasikan hasil kajian ke pemerintah dan tidak membuka hasilnya ke publik secara umum agar tidak menimbulkan kecemasan.
Sesar Cugenang yang menjadi penyebab gempa bermagnitudo 5,6 di Cianjur diduga merupakan bagian dari Sesar Cimandiri, meski sifatnya masih dugaan, namun perlu kajian lebih mendalam untuk membuktikan hipotesis tersebut.
Sesar Cimandiri merupakan segmen sesar yang kompleks karena terdapat beberapa klaster patahan yang diketahui ternyata merupakan bagian dari Sesar Cimandiri, seperti Sesar Nyalindung-Cibeber, Sesar Rajamandala, dan segmen Sesar utama Cimandiri.
Kajian dan pemetaan segmen yang terhubung dengan Sesar Cimandiri harus terus dilakukan agar menjadi kewaspadaan semua pihak karena patahan yang sudah terpetakan atau belum harus menjadi perhatian bersama guna meningkatkan kewaspadaan di kemudian hari.
Saksi gempa
Bumi berguncang hebat dengan gempa bermagnitudo 5,6 pada Senin (21/11/2022) sekitar pukul 11.45 WIB, membuat warga di sebagian besar wilayah Kabupaten Cianjur, terutama bagian utara, berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri dari dampak gempa yang meluluhlantakkan perkampungan.
Mereka melihat sendiri sanak saudara, anggota keluarga, bahkan tetangga yang tidak berhasil keluar dari dalam rumah, tertimpa bangunan yang ambruk merengut nyawa pemiliknya. Jasad bergelimpangan menjadi pemandangan menyeramkan yang sulit untuk mereka lupakan.
Bahkan mereka yang mengalami luka-luka tidak dapat berbuat banyak dan hanya bisa pasrah mendapat pengobatan seadanya sambil menunggu pusat layanan kesehatan berfungsi normal keesokan hari atau memaksakan diri mendatangi rumah sakit menggunakan sepeda motor karena jalan utama desa terjadi kemacetan.
Hingga malam pertama setelah gempa aliran listrik tidak menyala di desa terdampak parah, seperti Kecamatan Cianjur, Cugenang, Warungkondang dan Pacet, sehingga menyulitkan aparat TNI/Polri, petugas, relawan dari berbagai organisasi kemanusiaan untuk melakukan evakuasi.
Berbagai cerita sebelum gempa terjadi menjadi kisah duka bagi warga di sejumlah desa terdampak parah karena mereka melihat tanah bergerak seperti ombak, sebelum akhirnya meratakan perkampungan dengan korban jiwa meninggal sebanyak 605 orang akibat tertimpa bangunan rumah yang ambruk.
Rismayani (42), warga Kampung Cisarua, Desa Sarampad, Kecamatan Cugenang, menceritakan sebelum gempa terjadi dia dan beberapa orang tetangganya sempat mendengar suara gemuruh yang sangat kencang dibarengi dengan gempa dan tanah terbelah membuat rumah di sekelilingnya ambruk.
Dia yang mengendong cucunya saat itu, hendak pulang setelah berbelanja di warung yang berjarak beberapa meter dari rumahnya, tiba-tiba seperti berjalan sempoyongan karena getaran gempa yang hebat dirasakan, selang beberapa detik dia melihat semua rumah di kampungnya ambruk.
Termasuk rumah yang sudah dihuni sejak dia lahir hingga memiliki dua orang cucu, ambruk rata dengan tanah menimpa anak, menantu dan cucunya yang lain. Ketiga jasad orang yang dicintainya itu, baru berhasil dievakuasi pada hari ketiga setelah gempa.
"Tidak pernah saya bayangkan akan kehilangan mereka di depan mata saya, saya melihat rumah yang saya tempati sejak lahir rata dengan tanah mengubur ketiga orang yang sangat saya cintai. Untuk ke depan saya tidak mungkin tinggal lagi di kampung ini," katanya.
Hal yang sama dirasakan Nendih (49), warga Kampung Rawacina, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, sempat melihat tanah bergerak naik turun layaknya ombak di tengah lautan diiringi suara gemuruh yang sangat kencang, lalu terbelah dan meratakan setiap bangunan di atasnya.
Tanah terbelah mulai terlihat dari arah barat di area persawahan yang berbatasan dengan Desa Cibulakan, Kecamatan Cugenang, kemudian menjalar ke kolam ikan miliknya, perkampungan warga hingga ke jalan penghubung antarkampung.
"Tidak hanya meratakan bangunan, namun sejumlah rumah di kampung kami ini, ambruk dan amblas, sekitar 214 rumah rata dengan tanah, 16 orang warga meninggal karena tertimpa bangunan, beruntung saat kejadian anggota keluarga saya tidak berada di rumah," katanya.
Tidak jauh berbeda dengan Nedih dan Rismayani, Udin (56), warga Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, melihat dengan jelas tanah bergerak seperti ombak saat bekerja di kebun miliknya yang hanya berjarak beberapa belas meter dari longsor Sate Sinta-Cijedil dan Mangunkerta.
Udin yang mendengar gemuruh sangat kencang langsung merebahkan diri ke tanah, saat membuka mata dia melihat tanah bergelombang layaknya ombak terus bergerak ke bagian bawah, dimana terdapat ratusan rumah milik warga yang langsung ambruk disapu longsoran tanah akibat gempa.
"Saya tidak bisa berbuat banyak, saya hanya bisa memandang longsor disertai gempa menyapu perkampungan warga yang sebagian besar tertimpa dan terkubur bersama bangunan rumahnya. Sampai hari ini, saya masih takut untuk menggarap lahan dan melihat perkampungan yang hilang," katanya.
Mereka yang menjadi saksi keganasan gempa magnitudo 5,6 itu, hanya bisa pasrah dan berharap masih bisa tinggal di perkampungan yang sejak turun temurun dari nenek moyangnya mereka tempati, namun tidak sedikit yang memilih relokasi untuk menghilangkan trauma karena kehilangan anggota keluarganya.
Sehingga pemerintah menyiapkan lahan relokasi di dua tempat seperti di Kecamatan Cilaku dan Mande, dimana di kedua lokasi tercatat sudah dibangun 350 rumah untuk warga korban gempa yang kampungnya terletak di zona merah Sesar Cugenang.
Namun untuk memberikan pengertian agar warga dapat dengan sukarela meninggalkan kampungnya, pemerintah daerah harus menggencarkan sosialisasi terkait dampak gempa yang entah kapan akan lagi terjadi sehingga warga dapat memahaminya.
Pemerintah juga harus mendengarkan ketika warga menolak direlokasi karena berbagai alasan, sehingga ke depan pemerintah dapat memberikan apa yang mereka inginkan termasuk ladang usaha untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga-nya sehari-hari tidak hanya memberikan janji.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023
Tags: