Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh, mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara dugaan korupsi bagi Presiden RI periode 1966-1998, HM Soeharto. "Kajari Jakarta Selatan, Iskamto SH, tanggal 11 Mei 2006 telah membuat Surat Ketetapan Penghentian Perkara yang pada pokoknya berisi Menutup Penuntutan Perkara Atas HM Soeharto, karena perkara ditutup demi hukum," kata Jaksa Agung dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat sore. Jaksa Agung mengemukakan, tindakan itu diambil oleh pihak kejaksaan setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Soeharto oleh Tim Independen (Tim Pemantau Kesehatan Soeharto) bentukan Kejaksaan Agung dengan Tim Dokter Kepresidenan. "Kemarin Tim Independen telah bertemu dengan Tim Dokter Kepresidenan dengan Soeharto, dan hasilnya tidak menggembirakan," kata Arman. Pada 21 Agustus 2000, Soeharto telah diajukan ke persidangan atas dugaan korupsi pada tujuh yayasan yang dipimpinnya, namun terdakwa dalam keadaan sakit sehingga atas penilaian Tim Penilai Kesehatan Soeharto, yang dibentuk Kejaksaan Agung sebagai pemantau kesehatannya, dinyatakan bahwa Soeharto tidak layak diajukan ke persidangan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa perkara itu mengeluarkan penetapan untuk tidak memeriksa perkara itu, yang dilawan oleh Kejaksaan dengan mengajukan verset ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang dimenangkan oleh Penuntut Umum. Atas penetapan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, pengacara Soeharto mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dimenangkan dengan mengeluarkan fatwa, agar Kejaksaan memberikan kesempatan pengobatan pada Soeharto hingga sembuh sebelum melanjutkan kembali proses pengadilan. Pada akhir April 2006, Jaksa Agung mengatakan, pihaknya akan kembali memantau kesehatan mantan Presiden Soeharto melalui koordinasi dengan Tim Penilai Kesehatan Soeharto. Namun, pada 4 Mei 2006 Soeharto kembali harus menjalani perawatan intensif di RS Pusat Pertamina akibat pendarahan usus, seperti yang dialaminya pada tahun lalu. Bahkan, Soeharto harus menjalani operasi usus, dan fungsi jantung maupun ginjalnya sempat terganggu. Pemeriksaan yang dilakukan tim dokter menyatakan, keadaan Soeharto tidak lebih baik dari tahun 2002, bahkan Soeharto dinyatakan kehilangan fungsi luhur logika dan bahasa, sehingga sulit menuturkan pendapat dalam kalimat lebih dari empat kata. Hasil pemeriksaan itu dijadikan rekomendasi bagi Kejaksaan Agung dalam menentukan status hukum perkara Soeharto. Penetapan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara bagi Soeharto itu, menurut Jaksa Agung, merupakan hal yang pertama kalinya dilakukan Kejaksaan Agung terhadap orang yang tidak meninggal dunia. "Kejaksaan menunggu hingga enam tahun sebagai langkah hati-hati dalam kasus ini," katanya. Dengan dikeluarkannya SKPP itu, lanjutnya, status Soeharto adalah bukan lagi terdakwa kasus penyimpangan dana tujuh yayasan. Namun, dalam SKPP itu juga dinyatakan bahwa Kejaksaan bisa kembali mengajukan penuntutan perkara tersebut bila ditemukan hal-hal yang baru sebagai alasan Penuntut Umum untuk mencabut ketetapan itu. Disinggung mengenai kerugian negara akibat penyalahgunaan dana senilai 419 juta dolar AS dan Rp1,3 triliun, Jaksa Agung mengatakan, hal itu masih dalam pengkajian Kejaksaan Bidang Keperdataan. (*)