Jakarta (ANTARA) -
Wakil Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Bidang Information and Applied Technology Dody Dalimunthe mengungkapkan restrukturisasi kredit berhasil menurunkan rasio klaim dibayar (earned claim ratio) asuransi kredit.
Dengan demikian hal tersebut memberikan kesempatan kepada industri asuransi untuk melakukan perbaikan dari sisi cadangan. Kondisi ini dapat menjadi bahan pertimbangan pada saat pengambilan keputusan lanjutan dari program relaksasi kredit pada Maret 2023.
"Restrukturisasi ini merupakan angin sejuk bagi industri asuransi. Jika tidak ada ini, klaim asuransi kredit yang diterima akan meningkat lebih besar dibandingkan premi," ujar Dody dalam acara "LPPI Virtual Seminar #89" di Jakarta, Kamis.
Sebagai dampak restrukturisasi kredit COVID-19, terdapat penurunan rasio klaim dibayar dari 213 persen pada 2020 ke 143 persen di 2021. Hal tersebut terutama kebijakan tersebut dilakukan setahun penuh pada 2021 dibanding 2020 yang hanya diterapkan pada tiga kuartal.
Ia menyebutkan premi pada 2022 diperkirakan akan berada pada tataran yang sama dengan 2021, dengan asumsi terjadi perbaikan pada rasio klaim dibayar dengan tidak adanya dampak COVID-19 varian Delta serta penurunan jumlah jalur distribusi yang menyumbang klaim rasio yang buruk.
Selain itu, perbaikan rasio klaim dibayar pada 2022 dimungkinkan pula karena peningkatan persentase premi yang diperoleh akibat penurunan besaran komisi.
Meski asuransi kredit mendapatkan dampak positif dari restrukturisasi, industri asuransi umum telah memiliki kesadaran terhadap kondisi permasalahan yang menaungi asuransi kredit dan telah mulai melakukan perbaikan serta pencadangan seperti tercermin dengan pembentukan besaran Incurred But Not Reported (IBNR) yang ada.
Kendati demikian, Dody menilai tidak seluruh portfolio asuransi kredit yang ada saat ini bermasalah dan bahkan ada yang memberikan hasil underwriting yang baik.

Untuk itu perlu dibuat rencana perbaikan jangka panjang yang komprehensif dan nampak terhadap portfolio yang bermasalah dengan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Transparansi risiko kredit yang ada sangatlah rendah terutama jika dilihat dari perspektif penanggung akhir (reasuradur)," katanya.
Untuk mencegah terjadinya krisis karena kualitas kreditur yang buruk, dia berpendapat perlu adanya peraturan terkait akses kepada sistem Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK terhadap perusahaan perasuransian.

Baca juga: AAUI optimistis bisnis asuransi umum positif di tengah ancaman resesi

Baca juga: AAUI: Klaim asuransi umum capai Rp27,5 triliun pada triwulan III

Baca juga: AAUI: Laba bersih asuransi umum tumbuh 13,1 persen di triwulan III