Mataram (ANTARA) - Pusat Studi Demokrasi dan Kebijakan Publik (Pusdek) Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) menyarankan agar sistem pemilu tetap mempertahankan proporsional terbuka dibandingkan proporsional tertutup.

"Untuk Pemilu 2024, sebaiknya tetap sama menggunakan sistem proporsional terbuka. Nanti setelahnya, mari kita diskusikan lebih baik lagi, bagaimana skema terbaiknya. Karena sistem proporsional tertutup berpotensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) oleh elite partai," kata Wakil Ketua Pusdek UIN Mataram Dr Agus dalam diskusi bertajuk Menakar Sistem Pemilu Representasi Kepentingan Daerah, di UIN Mataram, Rabu.

Ia menilai sistem proporsional tertutup dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang diwacanakan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari berpotensi menguatkan oligarki. Karena itu, Pusdek UIN Mataram tetap menyarankan agar sistem pemilu tetap mempertahankan proporsional terbuka.

Selain itu, sistem proporsional tertutup juga akan menyebabkan tidak maksimalnya calon legislatif dalam melakukan kerja-kerja elektoral dalam meraup suara pada Pemilu 2024.

Di samping itu, katanya lagi, sistem proporsional tertutup juga akan melemahkan peran partai politik, karena mesin partai hanya bekerja sendiri tanpa dukungan dari para calon legislatif.

"Kalau mau jujur, yang untung itu adalah parpol besar, serta loyalitas caleg justru hanya pada pimpinan partai pada sistem proporsional tertutup. Beda dengan proporsional terbuka, yakni akan menguntungkan parpol baru. Dan di situ, orang mudah pindah atau loncat pagar karena memang enggak ada ideologi partai," kata Agus pada diskusi yang dibuka Rektor UIN Mataram Prof Masnun Tahir, dengan moderator Ketua Pusdik Prof Kadri, dan dihadiri Ketua KPU NTB Suhardi Soud, Ketua Bawaslu Itratip itu pula.

Hanya saja, kesejahteraan rakyat sebagai pemilih pada sistem proporsional tertutup, justru terhambat. Sebab, para kader yang menjadi caleg akan loyal pada pimpinan partai.

"Memang lebihnya, kertas suara lebih kecil, efisien, untuk proporsional tertutup tapi legitimasi untuk calon sangat rendah, beda legitimasi kalau pemilu dilakukan terbuka," ujar Agus lagi.

Untuk itu, kata dia pula, agar pilihan hak-hak daerah dapat terwakili, maka sistem proporsional terbuka sebaiknya tetap dipertahankan dalam Pemilu 2024, mengingat, sistem tertutup justru hanya bersifat perwakilan politik.

"Tapi, jika sistem proporsional terbuka, maka DPRD menjadi perwakilan fungsional. Jadi, pandangan kami, daerah akan bisa maju, maka sebaiknya proporsional terbuka dipertahankan," kata Agus.

Sementara itu, Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) NTB Lalu Aksar Anshori mengatakan bahwa tantangan pemilu kian kompleks dan rumit. Sebab, dari awal pemilu dimulai di Indonesia hingga kini, semua sistem pemilu sudah pernah dicoba dilakukan. Hanya saja, kerumitan sistem pemilu menyebabkan peluang terjadinya politik uang dan kecurangan.

"Kalau saya diminta untuk memilih, maka pilihan pada sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024 layak dilakukan. Ini karena sistemnya, simpel karena memilih partai. Dan juga surat suaranya tidak besar. Maka, itu juga memudahkan pihak penyelenggara karena sosialisasi juga enggak lama," katanya pula.
Baca juga: Politisi milenial lintas parpol tolak sistem proporsional tertutup
Baca juga: Pakar sebut politik uang berpotensi terjadi di proporsional tertutup