Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan dua kata yang menjadi pembentuknya, istilah bahasa pertama mudah didefinisikan, yakni sebagai bahasa yang pertama kali diperoleh oleh seseorang. Pembahasan bahasa pertama perlu memperhatikan istilah bahasa dominan, yakni bahasa yang secara dominan digunakan oleh masyarakat.

Sebagai contoh, seorang anak yang lahir, tumbuh, serta berkembang di sebuah desa di Daerah Istimewa Yogyakarta, dapat diasumsikan berbahasa pertama adalah Jawa karena bahasa itu merupakan yang dominan digunakan oleh masyarakat di desa itu.

​​​​​Seorang anak yang dilahirkan di sebuah nagari atau desa di Ranah Minang (Sumatra Barat), juga dapat diasumsikan berbahasa pertama Minangkabau, karena itu yang merupakan dominan digunakan oleh masyarakat di nagari tersebut.

Selain merupakan bahasa dominan, Bahasa Minangkabau dapat dikatakan sebagai bahasa ibu bagi anak itu karena Bahasa Minangkabau juga dapat diasumsikan merupakan bahasa pertama bagi ibu yang melahirkannya.

Sama dengan itu, selain merupakan bahasa dominan, Bahasa Jawa juga dapat dikatakan sebagai bahasa ibu bagi anak yang dicontohkan di atas karena Bahasa Jawa juga dapat diasumsikan merupakan bahasa pertama bagi ibu yang melahirkannya.

Istilah bahasa ibu disinonimkan oleh mendiang Profesor Soenjono, pakar psikoloinguistik dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, dengan istilah bahasa sang ibu, yakni yang merupakan hasil pengindonesian istilah Inggris motherese.

Pofesor Soenjono menjelaskan bahwa bahasa sang ibu atau motherese adalah bahasa yang digunakan oleh orang dewasa ketika berbicara dengan sang anak pada masa ia berada dalam proses pemerolehan bahasa.

Berdasarkan definisi itu, istilah bahasa sang ibu atau motherese juga dapat disinonimkan dengan istilah parentese karena orang dewasa yang pertama kali memberikan masukan bahasa kepada sang anak tidak hanya ibu, tetapi juga ayah dan ibu (parents).

Istilah motherese (bahasa sang ibu) atau parentese menjadi tidak tepat ketika orang dewasa yang mencurahkan kasih-sayang dan memberikan masukan bahasa pertama kepada sang anak tidak hanya ayah dan/atau ibu (parents).

Dengan kata lain, diperlukan istilah lain ketika orang dewasa pemberi kasih-sayang (care-givers) yang pertama kali memberikan masukan bahasa kepada sang anak adalah anggota keluarga besar (bukan hanya anggota keluarga inti). Anggota keluarga besar itu meliputi ibu, ayah, kakak, bibi, paman, nenek, dan kakek; dan bahkan dapat juga meliputi pembantu atau asisten rumah tangga yang ikut serta mencurahkan kasih-sayang dan memberikan masukan bahasa pertama kepada sang anak.

Dengan demikian, ketika situasi tersebut terakhir terjadi dalam proses pemerolehan bahasa oleh seorang anak, istilah care-giver speech menjadi lebih tepat untuk digunakan.

Dalam masyarakat berbahasa Jawa atau dalam masyarakat berbahasa Minangkabau yang dicontohkan di atas, istilah care-giver speech dan bahasa dominan dapat saling menggantikan karena bahasa yang menjadi bahasa dominan sama dengan bahasa yang menjadi care-giver speech.

Namun, ketika bahasa yang menjadi bahasa dominan dalam masyarakat berbeda dari care-giver speech yang diperoleh sang anak, kedua istilah itu tidak dapat saling menggantikan.

Sebagai contoh, ketika sebuah keluarga yang berasal Ranah Minang dan merantau ke Jakarta tetap menggunakan Bahasa Minangkabau sebagai care-giver speech kepada anak-anaknya, bahasa itu tidak sama dengan bahasa yang menjadi bahasa dominan di Jakarta, karena bahasa dominan di Jakarta adalah variasi non-baku bahasa Indonesia atau dialek Jakarta.

Tidak semua keluarga yang berasal dari daerah dan merantau ke Jakarta melakukan praktik kebahasaan seperti yang dicontohkan di atas. Dengan kata lain, tidak sedikit keluarga yang berasal dari daerah juga memberikan dialek Jakarta sebagai care-giver speech.

Kemudian, karena dialek Jakarta merupakan variasi non-baku bahasa Indonesia, dialek itu berbeda dari bahasa Indonesia, yakni yang merupakan bahasa baku. Bahasa baku pada umumnya merupakan bahasa resmi dalam sebuah negara, dan bahasa Indonesia sejatinya merupakan bahasa resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena menjadi bahasa resmi, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar dalam ranah pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, ketika anak yang berbahasa pertama Bahasa Jawa, Bahasa Minangkabau, dan dialek Jakarta yang dicontohkan di atas mulai bersekolah, ia terpapar dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa edukasional.

Situasi tersebut terakhir tidak hanya terjadi di tiga tempat yang dicontohkan di atas, tetapi juga di hampir semua tempat yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika dikaitkan dengan definisi bahasa pertama sebagai bahasa yang pertama kali diperoleh seorang anak, bahasa kedua dapat didefinsikan sebagai bahasa yang diperoleh anak ketika ia telah mendapatkan bahasa pertamanya.

Bahasa Indonesia diperoleh anak ketika ia mulai bersekolah, yakni ketika ia telah menguasai sebuah bahasa sebagai bahasa pertamanya (yakni pada umumnya merupakan bahasa daerah di daerah sub-urban atau perdesaan atau merupakan variasi non-baku Bahasa Indonesia di daerah urban atau perkotaan). Dengan demikian, Bahasa Indonesia dapat dikatakan merupakan bahasa kedua bagi para pelajar Indonesia.

Selain menjadi bahasa pengantar dalam ranah pendidikan, sebagai bahasa resmi, Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai alat komunikasi di instansi-instansi kepemerintahan dan digunakan sebagai alat komunikasi di media massa (televisi, radio, surat kabar, dan lain-lain) di Indonesia.

Oleh karena itu, hampir seluruh warga Indonesia (baik yang terpelajar atau pun yang tidak) terpapar secara efektif dengan penggunaan Bahasa Indonesia. Dengan demikian, selain menguasai bahasa pertamanya, warga negara Indonesia juga menguasai (setidaknya memahami) Bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya.

Selain terpapar dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam ranah pendidikan di Indonesia, kaum terpelajar Indonesia juga terpapar dengan bahasa lain yang diberikan sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Arab, atau bahasa Jepang. Berbeda dari Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa kedua, tiga bahasa tersebut terakhir merupakan bahasa asing.

Dengan demikian, bahasa asing dapat didefinisikan sebagai bahasa yang dipelajari oleh siswa di sekolah, selain bahasa Indonesia yang dipelajari sebagai bahasa kedua. Bahasa asing di Indonesia diidentikkan dengan bahasa yang digunakan oleh warga negara asing.

Berkait dengan perihal budaya, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pertama bagi sebagian besar warga negara Indonesia, seyogianya dilestarikan karena nilai-nilai budaya yang dihayati oleh masyarakat pada umumnya melekat dalam penggunaan bahasa daerah.

Kemudian, berkait dengan perihal kebangsaan, penggunaan Bahasa Indonesia (yang menjadi bahasa kedua bagi hampir seluruh warga negara Indonesia) harus diperkukuh. Pemerkukuhan itu berkait status Bahasa Indonesia (selain sebagai bahasa resmi) sebagai bahasa kebangsaan/bahasa nasional dan bahasa persatuan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian daripada itu, jika ingin berhasil masuk ke kancah antar-bangsa atau pergaulan internasional, warga negara Indonesia (terutama kaum terpelajar) mau-tidak-mau harus menguasai bahasa asing. Berkait dengan itu, penguasaan Bahasa Inggris (sebagai bahasa utama dunia) tampaknya sudah menjadi keharusan bagi kaum terpelajar Indonesia setakat ini.

Dengan demikian, jika ingin menjadi warga negara Indonesia yang tetap memiliki identitas budayanya masing-masing, kaum terpelajar Indonesia yang ingin berhasil masuk ke pergaulan internasional seyogianya melakukan tiga hal penting: (1) melestarikan dan memartabatkan bahasa daerah/bahasa pertama, (2) memperkukuh Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan/bahasa nasional serta bahasa persatuan, dan (3) menguasai bahasa asing.

*) Dr. Fauzi Syamsuar, S.Pd., M.Hum adalah dosen tetap di Fakultas Sastra Universitas Putra Indonesia Cianjur