Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Benny Riyanto mengatakan pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional mengikuti pergeseran paradigma keadilan.

"Urgensi mengganti KUHP lama menjadi KUHP nasional karena telah terjadi pergeseran paradigma keadilan. Jika dulu menggunakan paradigma keadilan retributif, kini menjadi keadilan yang korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban, dan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku," kata Benny dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, kelahiran KUHP nasional oleh sejumlah pakar hukum dianggap menjadi sebuah warisan penting bagi bangsa Indonesia dalam menciptakan reformasi sistem hukum pidana Indonesia.

Dia menekankan KUHP lama peninggalan Belanda sudah ada sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Namun, hingga kini belum ada terjemahan resminya, sehingga muncul banyak terjemahan yang berpotensi menimbulkan multitafsir.

"Selain itu, belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi mencerminkan dasar negara falsafah Pancasila," kata Benny.

Baca juga: Guru besar UI: KUHP baru terdapat lima misi

Dalam diskusi yang digelar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bersama Universitas Andalas di Padang, Rabu, Benny mengatakan perjalanan KUHP oleh masyarakat sering dianggap sebagai produk hukum yang tidak memenuhi prosedur, padahal prosesnya sudah jelas.

"Jawabannya jelas. Sejak diajukan kembali tahun 2015 oleh Presiden Joko Widodo, sudah ada Perpres Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo juga mengemukakan bahwa KUHP yang baru lebih mengakui dan menghormati hukum adat (delik adat) secara proporsional; namun masih dibatasi Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat.

"Hukum pidana adat (delik adat) yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan menjadi dasar bagi pembentukan peraturan daerah, memberlakukan hukum pidana adat melalui peraturan daerah memperkuat kedudukan hukum pidana adat; dan penegasan hukum pidana adat menjadikan ketentuan tersebut memiliki kepastian hukum," kata Harkristuti.

Baca juga: KSP: KUHP dorong pemenuhan keadilan korektif dan restoratif