Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan pertumbuhan ekonomi akan sangat mempengaruhi progres pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengeliminasi kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia.

“Secara umum, ada empat hal terkait kesehatan yang mungkin akan berpengaruh juga terhadap progres eliminasi TBC di Indonesia,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi dalam Pertemuan Outlook TBC 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Dalam jurnal milik The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam publikasinya terkait Health Care Outlook 2023, Imran menuturkan empat hal yang kemungkinan akan mempengaruhi penanganan TBC di seluruh dunia termasuk Indonesia, yakni angka mutlak belanja kesehatan akan turun pada 2023 dikarenakan gejolak ekonomi yang menghadapi tantangan besar.

Tantangan tersebut berupa adanya kemungkinan dunia menghadapi inflasi dan melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Situasi ekonomi yang mengkhawatirkan itu kemungkinan juga akan berdampak pada berkurangnya donasi-donasi atau hibah yang didapatkan dari filantropis atau perusahaan untuk berbagai kegiatan kesehatan di Indonesia.

Baca juga: Kemenkes-USAID libatkan RS perkuat sistem informasi identifikasi TBC

Hal kedua yang akan mempengaruhi penanganan TBC di Indonesia adalah digitalisasi dalam sistem perawatan kesehatan akan terus berkembang, namun penggunaan data kesehatannya akan lebih diperketat dan diatur berdasarkan kawasan atau negara. Misalnya seperti di Amerika Serikat, Eropa, dan China.

“Ini sudah mulai terlihat terutama terkait dengan pertukaran data. Di Kemenkes, Bapak Menteri juga meminta agar semua sistem informasi terkait kesehatan diintegrasikan di SatuSehat,” katanya.

Menurut Imran, integrasi data akan mendorong pengumpulan data menjadi lebih efisien dan keamanannya menjadi lebih terjaga.

Ketiga, akan ada sebuah “tebing tinggi” yang menciptakan keterbatasan akses dan mempengaruhi kontrol harga obat-obatan seperti di Amerika Serikat dan India. Sehingga memaksa beberapa perusahaan farmasi besar untuk memacu pertumbuhan melalui kesepakatan.

“Mungkin juga akan berdampak pada research and development untuk obat-obatan, untuk alat-alat diagnostik sehingga perlu diantisipasi terutama untuk bidang terkait dengan uji coba obat-obat atau alat-alat baru ini perlu kita cermati,” ujar Imran.

Baca juga: Kemenko PMK sebut masalah TBC bukan hanya soal pengobatan

Keempat, kata dia, yakni adanya gangguan pada rantai pasokan yang akan terus meningkatkan biaya pembuat obat, meskipun ada investasi dalam produksi farmasi yang lebih lokal.

Terlebih saat ini seluruh dunia masih menghadapi pandemi COVID-19. Sehingga dikhawatirkan penanganan TBC dapat semakin terganggu karena adanya lockdown yang berdampak pada ketersediaan bahan baku.

Oleh karena itu, keterlibatan unsur pentaheliks harus semakin diintensifkan utamanya dalam membantu mendayagunakan sumber daya antarpihak.

Kemenkes dalam upayanya mengeliminasi TBC saat ini secara masif mendorong kabupaten/kota membentuk desa siaga TBC dan kabupaten/kota bebas TBC. Pembentukan forum multisektor juga digencarkan guna mempercepat capaian dan eliminasi TBC secara “bottom up”.

Pada akhir tahun lalu, Kemenkes juga sudah berdialog dengan Sekretariat Negara untuk membuat suatu laporan yang nantinya akan diberikan kepada Presiden Joko Widodo, supaya beliau dapat mengetahui perkembangan terkait penanganan TBC.

Baca juga: Kemenkes: Eliminasi TBC 2030 butuh peran aktif lintas sektor

“Tinggal satu setengah tahun lagi beliau menjabat. Oleh karena itu, untuk menghasilkan yang terbaik kita harus memaksimalkan bantuan Bapak Presiden atas upaya melakukan eliminasi TBC di Indonesia menuju tahun 2030,” kata Imran.