Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menyebutkan penyataan dalam iklan Rabbani merupakan tindakan misoginis dan melekatkan stigma bahwa perempuan adalah penyebab terjadinya kekerasan seksual.

"Pernyataan dalam iklan tersebut adalah tindakan misoginis," kata Siti Aminah Tardi saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Misogini merupakan kebencian atau tidak suka terhadap wanita atau anak perempuan.

Komnas Perempuan menegaskan bahwa pakaian perempuan yang terbuka tidak signifikan sebagai penyebab kekerasan seksual.

"Semua dapat terjadi pada perempuan berpakaian terbuka hingga pakaian yang tertutup," kata Siti Aminah Tardi.

Baca juga: Komnas Perempuan bantah pernyataan Direktur Rabbani

Baca juga: Menanti peran UU TPKS tekan kekerasan terhadap perempuan dan anak


Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, tercatat jumlah kekerasan seksual sebanyak 4.660 kasus, dengan pelakunya mayoritas orang-orang yang dikenal atau dekat dengan korban.

"Bukan orang tak dikenal yang tertuju pada busana tertentu," imbuhnya.

Siti Aminah Tardi juga membantah pernyataan Direktur Marketing Rabbani Ridwanul Karim yang menyebut data Komnas Perempuan menyatakan pakaian perempuan yang terbuka menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual.

Pernyataan Ridwanul Karim menyiratkan bahwa seolah-olah data Komnas Perempuan turut menguatkan iklan Rabbani.

"Catatan Tahunan Komnas Perempuan selama 20 tahun, sejak 2003 hingga 2022, tidak pernah menyebutkan bahwa pakaian perempuan yang terbuka menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual," kata Siti.

Pihaknya pun mendesak Rabbani agar menarik iklan tersebut dan meminta maaf atas kesengajaan termasuk penyebutan menyesatkan pemirsa seolah informasi iklan tersebut berasal dari data Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan juga mengajak dunia usaha ikut terlibat dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan serta tidak menjadikan kekerasan terhadap perempuan sebagai komoditi iklan, terutama dengan menyampaikan informasi yang tidak benar.

Baca juga: Jumlah pemimpin perempuan masih jauh lebih kecil dari laki-laki

Baca juga: Komnas dorong kebijakan perlakuan khusus capai keseimbangan gender