Guru Besar UI: Perppu Cipta Kerja adalah konstitusional
7 Januari 2023 13:20 WIB
Tangkapan layar-Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Satya Arinanto dalam diskusi Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja, di Jakarta, Sabtu. (07/01/2023) (ANTARA/Boyke Ledy Watra)
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Satya Arinanto menyatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Cipta Kerja merupakan sesuatu yang konstitusional.
"Berdasarkan berbagai teori HTN Darurat dan hukum positif yang mengatur mengenai kedaruratan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 adalah konstitusional," kata dia dalam diskusi "Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja" di Jakarta, Sabtu
Dengan demikian, lanjut Satya, tentunya tidak ada kudeta konstitusional dalam pemberlakuan Perppu Cipta Kerja.
Satya menjelaskan Perppu Cipta Kerja itu dinilai konstitusional merujuk Undang-Undang 1945, teori hukum tata negara (HTN) darurat, dan Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009.
"Pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu pasal yang masih asli, dalam arti tidak ikut mengalami perubahan dalam proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi (1999-2002)," kata dia.
Menurut dia, dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut dinyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Kemudian, kata dia, jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Lebih lanjut, dia menjelaskan parameter kegentingan memaksa yang bisa menjadi dasar dalam penerbitan Perppu yakni. Dia mengatakan menurut Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009 yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada.
"Terjadinya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," ujarnya.
Presiden Joko Widodo, kata dia, pada 30 Desember 2022 yang lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker).
Penerbitan Perppu tersebut melahirkan beberapa pro dan kontra dan juga hoaks yang beredar secara viral melalui berbagai grup WA. Disamping itu, pro dan kontra tersebut juga diramaikan oleh media massa.
Dia mengatakan dari pantauan awal terlihat bahwa salah satu akar dari timbulnya pro dan kontra tersebut adalah karena belum semua pihak membaca naskah Perppu tersebut secara lengkap.
"Kalaupun sudah membaca baik secara lengkap maupun sepintas, salah satu fokus yang langsung disoroti adalah mengenai aspek 'kegentingan yang memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945," ujarnya.
"Berdasarkan berbagai teori HTN Darurat dan hukum positif yang mengatur mengenai kedaruratan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa Perppu Nomor 2 Tahun 2022 adalah konstitusional," kata dia dalam diskusi "Menakar Konstitusionalitas Perppu Cipta Kerja" di Jakarta, Sabtu
Dengan demikian, lanjut Satya, tentunya tidak ada kudeta konstitusional dalam pemberlakuan Perppu Cipta Kerja.
Satya menjelaskan Perppu Cipta Kerja itu dinilai konstitusional merujuk Undang-Undang 1945, teori hukum tata negara (HTN) darurat, dan Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009.
"Pasal 22 UUD 1945 merupakan salah satu pasal yang masih asli, dalam arti tidak ikut mengalami perubahan dalam proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi (1999-2002)," kata dia.
Menurut dia, dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut dinyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Kemudian, kata dia, jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Lebih lanjut, dia menjelaskan parameter kegentingan memaksa yang bisa menjadi dasar dalam penerbitan Perppu yakni. Dia mengatakan menurut Putusan MK Nomor: 138/PUU/VII/2009 yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada.
"Terjadinya kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," ujarnya.
Presiden Joko Widodo, kata dia, pada 30 Desember 2022 yang lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker).
Penerbitan Perppu tersebut melahirkan beberapa pro dan kontra dan juga hoaks yang beredar secara viral melalui berbagai grup WA. Disamping itu, pro dan kontra tersebut juga diramaikan oleh media massa.
Dia mengatakan dari pantauan awal terlihat bahwa salah satu akar dari timbulnya pro dan kontra tersebut adalah karena belum semua pihak membaca naskah Perppu tersebut secara lengkap.
"Kalaupun sudah membaca baik secara lengkap maupun sepintas, salah satu fokus yang langsung disoroti adalah mengenai aspek 'kegentingan yang memaksa' sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945," ujarnya.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2023
Tags: