Jakarta (ANTARA News) - Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) kini telah terdegradasi menjadi formalitas perizinan yang memiliki konsekuensi biaya. Sudah bukan rahasia lagi bila komponen kegiatan atau proyek Amdal telah terdegradasi menjadi formalitas perizinan yang memiliki konsekuensi biaya, katanya di Jakarta, Selasa, ketika memberikan sambutan pada Rapat Kerja Nasional Amdal 2006. Ia mengatakan bahwa saat ini juga masih ditemukan anggota Komisi Penilai Amdal yang melakukan penyusunan dokumen Amdal. "Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi kewenangan menilai dokumen Amdal diperlakukan sebagai kesempatan untuk memeroleh pendapatan tambahan," ujarnya. Padahal, ia melanjutkan, Amdal menjadi tumpuan masyarakat untuk mengatasi berbagai persoalan termasuk persoalan lingkungan hidup dan isu-isu yang terkait lainnya. Oleh karena itu, lanjut dia, Kementerian Lingkungan Hidup akan membenahi kekurangan-kekurangan yang masih dirasakan dalam sistem Amdal yang ada. Pembenahan itu, kata dia, akan dilakukan dengan melakukan pembahasan, penyusunan, revisi dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan Amdal yang baru. "Dokumentasi dari praktik-praktik terbaik pelaksanaan Amdal perlu ditekuni dan dijadikan dasar untuk perbaikan Amdal pada masa depan," jelasnya. Ia menjelaskan pula bahwa konsep Amdal yang dipercepat, yang sedang dilakukan di Aceh dan Nias dalam rangka rekonstruksi pasca-tsunami, akan memberi pengalaman empiris yang bermanfaat bagi kegiatan revitalisasi Amdal. Sehubungan adanya tuntutan pendelegasian kewenangan penilaian AMDAL kepada masing-masing daerah, ia meminta pemerintah daerah menyikapinya dengan bijaksana. "Desentralisasi penilaian Amdal tidak seharusnya dilakukan hanya untuk memenuhi kepentingan jangka pendek aparat birokrasi daerah, akan tetapi lebih untuk menjamin pelaksanaan Amdal yang baik," katanya. Kebijakan Amdal telah dilakukan selama 20 tahun di Indonesia, yakni sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.29 Tahun 1986 tentang Amdal, yang kemudian direvisi dengan PP No.27 Tahun 1999. Namun, kebijakan itu belum dapat memberikan kontribusi nyata dalam pengelolaan lingkungan. Saat ini hanya 119 kabupaten/kota atau 75 persen dari jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki Komisi Penilai Amdal. "Dan hanya 50 persen dari 119 Komisi Penilai yang berfungsi menilai Amdal," kata Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita. Lebih dari 75 persen dokumen Amdal yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal di kabupaten/kota pun, kata dia, berkualitas buruk hingga sangat buruk.(*)