Jakarta (ANTARA) - SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19, bertahan di otak dan bagian tubuh lainnya selama delapan bulan, ungkap sebuah studi dalam jurnal Nature.
Seperti disiarkan Medical Daily belum lama ini, untuk sampai pada temuan ini tim peneliti mengumpulkan dan menganalisis sampel otopsi lengkap dari 44 pasien tidak divaksinasi yang meninggal karena COVID-19.
Mereka juga melakukan pengambilan sampel ekstensif sistem saraf pusat pada 11 pasien untuk mengevaluasi aktivitas virus di otak.
Setelah menganalisis sampel, para peneliti menemukan SARS-CoV-2 tersebar luas di tubuh pasien yang meninggal karena COVID-19 parah. Virus berada di jaringan pernapasan dan non-pernapasan, termasuk otak pada awal infeksi.
Tim juga menemukan RNA SARS-CoV-2 secara terus-menerus bertahan di banyak organ, termasuk otak, selama sekitar 230 hari atau hampir delapan bulan sejak timbulnya gejala dalam satu kasus.
Mereka melaporkan meskipun ada distribusi ekstensif RNA virus ke seluruh tubuh pada beberapa pasien, hanya ada sedikit bukti peradangan dan manifestasi penyakit lainnya pada tingkat sel.
“Kami berharap dapat mereplikasi data tentang persistensi virus dan mempelajari hubungannya dengan long COVID. Kurang dari setahun, kami memiliki sekitar 85 kasus, dan kami berupaya memperluas upaya ini, ” kata salah satu penulis studi Stephen Hewitt.
Baca juga: Wanita dengan IMT tinggi berisiko lebih tinggi alami long-COVID-19
Baca juga: Survei di AS: Long COVID lebih berdampak pada wanita dibanding pria
Baca juga: Pakar: Batuk kronis berkepanjangan indikasi Long COVID-19
Studi ungkap SARS-CoV-2 bertahan di otak selama delapan bulan
5 Januari 2023 12:43 WIB
Ilustrasi virus corona (Pixabay)
Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023
Tags: