Jakarta (ANTARA) - Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker) menyatakan bahwa “mata rantai terputus” menjadi metode yang paling banyak digunakan pelaku tidak bertanggung jawab untuk menipu dan menjebak Pekerja Migran Indonesia (PMI).

“Tantangan tersulit kami adalah menemukan pelakunya. Jadi, karena pelakunya pasti sudah menggunakan metode mata rantai terputus, antara satu dengan yang lain itu tidak saling mengenal,” kata Direktur Bina Riksa Ketenagakerjaan Kemnaker, Yuli Adiratna dalam Nawa Podcast PMI yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Anggota DPR: komitmen pemerintah lindungi PMI makin baik

Yuli menuturkan bahwa penangkapan pelaku menjadi sulit karena orang yang terjun di desa untuk merekrut warga menjadi Calon PMI (CPMI), akan berbeda dengan orang yang diberikan tanggung jawab untuk mengantarkan CPMI ke tempat pelatihan atau proses pengurusan dokumen.

Pelaku akan kembali berganti orang yang diperintahkan untuk mengantar CPMI ke bandara begitu ingin terbang.

Selain penemuan pelaku yang menempatkan CPMI, hal tersulit yang menjadi tantangan pemerintah adalah pencarian barang bukti. Meskipun dikerjakan bersama lintas sektor, sulit untuk menjamin seseorang menjadi pelaku saat itu.

Dalam sebagian besar kasus, para pekerja diberangkatkan dalam keadaan tidak memegang dokumen apapun baik paspor ataupun tiket boarding pass. Keduanya akan diberikan, begitu sudah tiba di bandara menjelang panggilan masuk pesawat.

“Ketika dia sampai bandara dia belum pegang apapun dan sebagian besar seperti itu. Ini sulit untuk membuktikan bahwa buktinya apa untuk dia menempatkan dan siapa. Itu selalu yang menjadi pertanyaan-pertanyaan besar kita,” katanya.

Dengan demikian, Yuli menekankan bahwa sudah menjadi tugas Kemnaker untuk terus menggaungkan edukasi kepada semua pihak yang terlibat, tidak hanya pada PMI saja. Tetapi juga kepada masyarakat hingga pemerintah di tingkat pusat sampai desa.

Sebab, dengan tidak pahamnya regulasi bekerja dan dokumen yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang, pekerja akan menjadi PMI non-prosedural yang begitu terkena masalah tidak dapat ditemukan atau mengalami kendala dalam menghadapi permasalahannya.

Yuli mengingatkan pada semua pihak jika negara tidak akan pernah melarang warganya untuk bekerja ke luar negeri, dan akan memberikan fasilitas yang terbaik. Makanya, diharapkan semua pekerja dapat bekerja secara prosedural dengan cara mendaftarkan diri ke Disnaker ataupun Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).

Baca juga: Komnas HAM sebut sedikitnya 300 ribu WNI berpotensi "stateless"

Baca juga: Rayakan Hari Migran, BP2MI berkomitmen perangi perdagangan manusia


Yuli mengingatkan pekerja untuk tidak mudah termakan iming-iming pelaku, dengan berbagai syarat yang sangat mudah dilakukan. Pastikan bahwa semua dokumen lengkap, dan pihak yang menempatkan pekerja betul-betul berasal dari lembaga yang tercatat di kementerian atau melalui Aplikasi bernama Jendela PMI.

“Bisa terlihat di aplikasi, mana yang sudah tidak berlaku atau dicabut, mana yang skorsing, mana yang masih aktif. Sekali lagi, jangan pernah berangkat secara non-prosedural, karena tidak ada kepastian jaminan perlindungan dari negara,” ujar Yuli.