WHO minta gambaran realistis tentang situasi COVID-19 di China
3 Januari 2023 23:42 WIB
Arsip foto - Pasien berbaring di tempat tidur di ruang tunggu di unit gawat darurat Rumah Sakit Zhongshan, di tengah wabah COVID-19 di Shanghai, China (3/12/2023). ANTARA/REUTERS/Staff/as/aa.
London (ANTARA) - Para ilmuwan terkemuka di komite penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menginginkan gambaran yang lebih realistis tentang situasi COVID-19 dari para ahli China dalam pertemuan penting pada Selasa.
WHO telah mengundang para ilmuwan China ke pertemuan tertutup yang berlangsung secara virtual guna membahas evolusi virus serta meminta data tentang varian mana yang beredar di negara tersebut.
"Kami ingin melihat gambaran yang lebih realistis tentang apa yang sebenarnya terjadi," kata Prof Marion Koopmans, ahli virologi Belanda yang duduk di komite WHO itu.
Berbicara kepada Reuters menjelang pertemuan, dia mengatakan beberapa data dari China, seperti angka rawat inap, tidak terlalu kredibel.
"Adalah kepentingan China sendiri untuk tampil dengan informasi yang lebih terpercaya," tutur Koopmans.
China mencabut kebijakan nol COVID pada Desember 2022. Kasus COVID di negara itu sekarang melonjak, meskipun data resmi tidak merata.
Koopmans mengatakan mereka hanya melihat "sebagian kecil" dari kasus China yang genomnya diurutkan sejauh ini, yaitu sekitar 700, dan menyerukan pembentukan jaringan pengawasan global untuk melacak SARS-CoV-2.
"Saat ini, apa yang kami dapatkan sangat tidak merata, tetapi itu juga menjadi kenyataan di belahan dunia lain," kata dia.
Profesor Tulio de Oliveira, seorang ilmuwan Afrika Selatan yang juga duduk di komite WHO itu, telah mendeteksi sejumlah varian baru.
Menurut dia, tentu saja akan baik untuk mendapatkan lebih banyak informasi dari China, tetapi ini juga berlaku secara global.
Sejauh ini, data pengurutan genom dari China yang diberikan ke hub GISAID daring menunjukkan varian yang beredar di sana merupakan cabang dari Omicron, sama dengan varian yang dominan di seluruh dunia.
Bulan lalu, Reuters melaporkan bahwa WHO belum menerima data dari China tentang angka rawat inap COVID yang baru sejak Beijing mencabut kebijakan nol COVID.
Hal itu mendorong beberapa ahli kesehatan untuk mempertanyakan apakah mungkin ada informasi tersembunyi tentang tingkat keparahan wabah di China.
De Oliveira juga mengkritik pembatasan yang diberlakukan oleh beberapa negara terhadap pelaku perjalanan dari China.
Dia mengatakan langkah tersebut sebelumnya dialami oleh Afrika Selatan, setelah memperingatkan dunia tentang varian Beta dan Omicron.
"Satu hal yang harus kita lakukan tiga tahun setelah pandemi adalah belajar dari kesalahan kita. Untuk mendorong suatu negara berbagi lebih banyak data, cara terbaik adalah mendukung mereka dan tidak mendiskriminasi mereka dengan pembatasan perjalanan," ujar dia.
Sumber: Reuters
Baca juga: EU tawari China vaksin COVID-19 gratis saat infeksi melonjak
Baca juga: Beijing kecam pembatasan pengunjung dari China oleh sejumlah negara
Baca juga: EU bahas koordinasi soal situasi COVID China
WHO telah mengundang para ilmuwan China ke pertemuan tertutup yang berlangsung secara virtual guna membahas evolusi virus serta meminta data tentang varian mana yang beredar di negara tersebut.
"Kami ingin melihat gambaran yang lebih realistis tentang apa yang sebenarnya terjadi," kata Prof Marion Koopmans, ahli virologi Belanda yang duduk di komite WHO itu.
Berbicara kepada Reuters menjelang pertemuan, dia mengatakan beberapa data dari China, seperti angka rawat inap, tidak terlalu kredibel.
"Adalah kepentingan China sendiri untuk tampil dengan informasi yang lebih terpercaya," tutur Koopmans.
China mencabut kebijakan nol COVID pada Desember 2022. Kasus COVID di negara itu sekarang melonjak, meskipun data resmi tidak merata.
Koopmans mengatakan mereka hanya melihat "sebagian kecil" dari kasus China yang genomnya diurutkan sejauh ini, yaitu sekitar 700, dan menyerukan pembentukan jaringan pengawasan global untuk melacak SARS-CoV-2.
"Saat ini, apa yang kami dapatkan sangat tidak merata, tetapi itu juga menjadi kenyataan di belahan dunia lain," kata dia.
Profesor Tulio de Oliveira, seorang ilmuwan Afrika Selatan yang juga duduk di komite WHO itu, telah mendeteksi sejumlah varian baru.
Menurut dia, tentu saja akan baik untuk mendapatkan lebih banyak informasi dari China, tetapi ini juga berlaku secara global.
Sejauh ini, data pengurutan genom dari China yang diberikan ke hub GISAID daring menunjukkan varian yang beredar di sana merupakan cabang dari Omicron, sama dengan varian yang dominan di seluruh dunia.
Bulan lalu, Reuters melaporkan bahwa WHO belum menerima data dari China tentang angka rawat inap COVID yang baru sejak Beijing mencabut kebijakan nol COVID.
Hal itu mendorong beberapa ahli kesehatan untuk mempertanyakan apakah mungkin ada informasi tersembunyi tentang tingkat keparahan wabah di China.
De Oliveira juga mengkritik pembatasan yang diberlakukan oleh beberapa negara terhadap pelaku perjalanan dari China.
Dia mengatakan langkah tersebut sebelumnya dialami oleh Afrika Selatan, setelah memperingatkan dunia tentang varian Beta dan Omicron.
"Satu hal yang harus kita lakukan tiga tahun setelah pandemi adalah belajar dari kesalahan kita. Untuk mendorong suatu negara berbagi lebih banyak data, cara terbaik adalah mendukung mereka dan tidak mendiskriminasi mereka dengan pembatasan perjalanan," ujar dia.
Sumber: Reuters
Baca juga: EU tawari China vaksin COVID-19 gratis saat infeksi melonjak
Baca juga: Beijing kecam pembatasan pengunjung dari China oleh sejumlah negara
Baca juga: EU bahas koordinasi soal situasi COVID China
Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023
Tags: