Mataram (ANTARA) - Hakim Mahkamah Agung menolak kasasi jaksa penuntut umum terkait perkara pemalsuan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) lahan seluas 6,5 hektare yang berada di kawasan wisata Gili Sudak, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Juru bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo ketika dikonfirmasi di Mataram, Selasa, mengatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan putusan Hakim Mahkamah Agung pada 29 November 2022.

"Iya, sesuai dengan petikan putusan yang kami terima Senin (2/1), kasasi jaksa penuntut umum ditolak," kata Kelik.

Dengan adanya putusan itu, jelas Kelik, terdakwa atas nama Muksin Mahsun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pemalsuan SPPT di Gili Sudak.

"Jadi, putusan perkara ini mengacu pada putusan pengadilan tingkat pertama," ujarnya.

Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram, majelis hakim menjatuhkan vonis bebas terhadap Muksin Mahsun dan membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum.

Dari perkara ini, jaksa sebelumnya meminta hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana 3,5 tahun kepada Muksin Mahsun. Jaksa menetapkan tuntutan demikian dengan menyatakan penerbitan SPPT tidak melalui prosedur.

Hakim pun menyatakan bahwa SPPT lahan seluas 6,5 hektare tersebut murni produk Bappenda Lombok Barat. Pernyataan itu dikuatkan dari keterangan saksi Bappenda Lombok Barat.

Selain itu, hakim juga sependapat dengan keterangan saksi ahli pidana Profesor Amirudin. Dalam keterangannya, saksi ahli menyatakan persoalan penerbitan SPPT tidak merujuk pada pidana melainkan ranah peradilan pajak.

Muksin Mahsun terseret kasus dugaan pemalsuan surat berdasarkan laporan dari pihak pemegang SPPT pada objek tanah yang sama, yakni Debora Sutanto dan Awanadhi Aswinabawa. Keduanya memegang SPPT berdasarkan surat sporadik.

Berbeda dengan Muksin Mahsun yang mengajukan penerbitan SPPT berdasarkan pipil garuda Nomor 623 atas nama Daeng Kasim. Dia mendapatkan itu dari orang tuanya, Mahsun yang telah membeli tanah dari Daeng Kasim pada tahun 1974.

Atas dasar itu, terdakwa mengajukan permohonan pembuatan SPPT atas lahan tersebut ke Bappenda Lombok Barat.

Namun, SPPT Nomor: 52.01.010.001.004-0008 yang terbit atas pengajuan Muksin Mahsun itu dianggap palsu oleh jaksa penuntut umum.

Lebih lanjut, penasihat hukum Muksin Mahsun, Hendi Ronanto, menyampaikan bahwa putusan kasasi tersebut telah memberikan rasa keadilan terhadap kliennya.

"Seharusnya putusan ini bisa menjadi tamparan keras bagi Polda NTB yang telah mengusut kasus tersebut. Kok bisa-bisanya klien saya ini dijadikan tersangka dengan alas hak yang jelas. Klien saya ini memegang pipil garuda," ujar Ronan.

Ia pun bersyukur dalam persidangan, semua fakta terungkap. Dia berharap perkara ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi aparat penegak hukum.

"Untuk ke depannya, kami harap APH menjadikan kasus ini pelajaran agar tidak asal-asalan dalam menetapkan orang sebagai tersangka hingga menyidangkan ke pengadilan," katanya.