Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Johns Hopkins Program for International Education in Gynecology and Obstetrics (JHPIEGO) mendorong KB pascapersalinan menjadi mata kuliah di kurikulum perguruan tinggi pada program studi kebidanan.

“Di situ kita advokasi karena 90 persen ibu sudah melahirkan di Faskes. Kalau kita pikir sistematis, kalau sekarang mau melahirkan apakah mau lagi pasti jawabnya tidak. Cuma sayangnya 100 persen yang tidak mau itu yang mau KB cuma 29 persen angkanya,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Dalam audiensi yang digelar BKKBN di Jakarta, Senin (2/1) Hasto menuturkan pada JHPIEGO dan Asosiasi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) bahwa pelayanan KB pasca persalinan (KBPP) yang ada saat ini belum maksimal karena hanya sepertiga dari 4,8 juta ibu yang melahirkan setiap tahunnya yang langsung menggunakan KBPP.

Oleh karenanya, materi KBPP menjadi sangat penting karena secara langsung berkaitan dengan jarak kehamilan yang erat dengan terjadinya autis dan stunting yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.

Materi KBPP juga bisa menjadi solusi untuk menekan kebutuhan ber-KB yang belum terpenuhi (unmet need). Selama dua tahun ini, persentasenya naik dari 10 persen pada 2020 menjadi 18 persen pada 2022.

Diharapkan dapat lebih mempermudah mendapatkan akseptor KB, jika melakukan pendekatan melalui KBPP karena secara psikologis ibu yang baru melahirkan tidak ingin langsung punya anak lagi.

“Ini target market yang menarik dan strategis dan lokusnya jelas, kalau kita tidak bisa menangkap itu ya sayang,” katanya.

Baca juga: BKKBN-Kemendes sinergi berdayakan masyarakat di kampung KB Yogyakarta

Tim Pelatih Advokasi JHPIEGO Abdul Jabbar berharap ketika kurikulum bisa terinstusionalisasi, akan mengurangi pelatihan-pelatihan yang melahirkan banyak bidan, namun tidak memiliki kapasitas dalam memberikan pelayanan KBPP.

Pihaknya telah membuat pusat pelatihan pelayanan KBPP di 12 kabupaten prioritas. Dikarenakan pelayanan KBPP sangat klinis, maka harus dilakukan oleh bidan yang kompetensinya telah terakreditasi, sehingga bisa membantu daerah melakukan efisiensi anggaran daerah yang terbatas.

Jabbar menyatakan ingin membantu BKKBN di 12 kabupaten prioritas, melalui penguatan kapasitas bagi tenaga lini lapangan, dengan harapan seluruh tenaga lini lapangan mendapat informasi terbaru mengenai pelayanan KBPP secara konsep maupun teori sehingga tidak ada kesalahan dalam memahami definisi operasional KBPP.

Termasuk dalam mengedukasi Tim Pendamping Keluarga (TPK) di wilayah kerjanya. JHPIEGO dan AIPKIND juga sudah bekerja sama menghasilkan sebuah modul peran bidan pendampingan perempuan dan KBPP yang dibagi menjadi empat bagian.

Modul KB itu juga memuat capaian pembelajaran yang ingin dicapai, bahan kajian, metode pembelajaran, gambaran besar materi, metode evaluasi dan instrumen serta bahan bacaan. Dengan penyampaian materi dilakukan melalui kuliah interaktif, hingga laboratorium maupun klinik dengan menggunakan metode studi kasus, analisis jurnal, dan evidence based report.

Baca juga: BKKBN turunkan 6.130 Tim Pendamping Keluarga atasi stunting di Sumsel