Singapura (ANTARA) - Harga minyak naik tipis di perdagangan Asia pada Jumat sore, berada di jalur untuk kenaikan tahunan kedua berturut-turut meskipun moderat, dalam tahun badai yang ditandai oleh pasokan ketat karena perang Ukraina, dolar yang kuat, dan melemahnya permintaan dari importir minyak mentah utama dunia China.

Harga minyak mentah berjangka Brent terangkat 59 sen atau 0,7 persen, menjadi diperdagangkan di 84,05 dolar AS per barel pada pukul 07.30 GMT, setelah tergelincir 1,2 persen di sesi sebelumnya.

Brent tampaknya akan mengakhiri tahun ini dengan kenaikan sebesar 8,0 persen, setelah melonjak 50,2 persen pada 2021. Harga telah melonjak pada Maret ke puncak 139,13 dolar AS per barel, level yang tidak terlihat sejak 2008, setelah Rusia menginvasi Ukraina, memicu masalah pasokan dan keamanan energi.

Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS bertambah 50 sen atau 0,6 persen, menjadi diperdagangkan di 78,90 dolar AS per barel, setelah ditutup 0,7 persen lebih rendah pada Kamis (29/12/2022).

WTI berada di jalur untuk kenaikan 4,8 persen pada 2022, setelah mencatat lonjakan 55 persen tahun lalu.

Sementara peningkatan perjalanan liburan akhir tahun dan larangan Rusia atas penjualan minyak mentah dan produk minyak mendukung harga minyak, keterbatasan pasokan akan diimbangi oleh penurunan konsumsi karena lingkungan ekonomi yang memburuk tahun depan, kata Analis CMC Markets, Leon Li.

Baca juga: Harga minyak turun, pasar khawatir lonjakan COVID dan permintaan China

"Tingkat pengangguran global diperkirakan akan meningkat pesat pada tahun 2023, menahan permintaan energi. Jadi saya pikir harga minyak akan turun menjadi 60 dolar AS tahun depan," katanya.

Harga minyak mendingin dengan cepat pada paruh kedua tahun ini karena bank-bank sentral menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi, mendorong dolar AS. Itu membuat komoditas berdenominasi dolar menjadi investasi yang lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

Selain itu, pembatasan zero-COVID di China, yang baru dilonggarkan bulan ini, menghancurkan harapan pemulihan permintaan minyak untuk konsumen nomor dua dunia itu. Sementara China diperkirakan akan perlahan pulih pada tahun 2023, lonjakan infeksi COVID dan kekhawatiran resesi global mengaburkan prospek permintaan komoditas.

"Pelonggaran pembatasan perjalanan baru-baru ini diperkirakan akan meningkatkan permintaan minyak; namun peningkatan tajam kasus COVID di China telah menimbulkan kekhawatiran serius atas potensi wabah global," kata Direktur Konsultan JTD Energy Services,John Driscoll.

Baca juga: Minyak turun di Asia, lonjakan COVID China redam prospek permintaan

Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat menanggapi lonjakan China dengan memerintahkan tes wajib COVID-19 untuk pelancong dari negara tersebut.

Sebuah firma data kesehatan memperkirakan sekitar 9.000 orang meninggal setiap hari akibat COVID di China, karena infeksi menyebar di negara terpadat di dunia itu.

Ke depan pada pasokan, sanksi Barat akan mendorong Rusia untuk mengalihkan lebih banyak ekspor produk minyak mentah dan olahan dari Eropa ke Asia.

Di Amerika Serikat, pertumbuhan produksi di negara-negara bagian penghasil minyak teratas melambat meskipun harga lebih tinggi. Inflasi, hambatan rantai pasokan, dan ketidakpastian ekonomi telah menyebabkan para eksekutif menurunkan ekspektasi mereka, menurut survei terbaru oleh Federal Reserve Dallas.

"Ini merupakan tahun yang luar biasa bagi pasar komoditas, dengan risiko pasokan yang menyebabkan peningkatan volatilitas dan kenaikan harga," kata Analis ING, Ewa Manthey.

"Tahun depan akan menjadi tahun ketidakpastian lagi, dengan banyak volatilitas."

Baca juga: Harga minyak Asia turun, lonjakan COVID China rusak prospek permintaan