Magelang (ANTARA) - Hujan ketiga turun lebih deras ketimbang dua kali sebelumnya yang sebatas gerimis, ketika waktu beranjak beberapa saat menuju kumandang asar terdengar dari Candi Penataran di kawasan barat daya Gunung Kelud, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Di bawah guyuran hujan, Wildan, Alif, Iqbal, dan Abi, empat anak kira-kira berusia pendidikan sekolah dasar, tetap asyik bermain di kompleks percandian itu. Candi Penataran dibangun awal abad 12 Masehi, melingkupi bagian catatan sejarah untuk waktu tiga zaman Indonesia masa lampau, yakni masa Kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Selain terlihat sesekali berlarian di antara candi satu dengan situs lain di kompleks itu, celotehan mereka terdengar dari kejauhan, menembus suara guyuran hujan. Pakaian dan tubuh yang basah oleh air hujan tampak tak menyurutkan riang mereka bermain.
Kalau bagi kebanyakan orang dewasa, hujan mungkin menjadi hambatan beraktivitas, anak-anak tersebut seakan hendak menyatakan bahwa waktu hujan sebagai ruang yang tetap menarik untuk bersukaria dengan caranya, tetap bermain di candinya.
Sesekali mereka naik turun tangga candi utama di bagian belakang kompleks Candi Penataran. Kepala-kepala mereka terlihat menyembul di antara tatanan bebatuan cagar budaya tersebut. Tampak dari warung kecil milik warga setempat, Yuston, tiba-tiba mereka beriringan berjalan mengelilingi pelataran bagian candi dengan dinding-dinding yang kaya relief flora-fauna, memperkaya pesan ajaran kemanusiaan.
Hujan deras makin surut menjadi gerimis, sebelum kemudian sampai kepada reda. Seorang pengunjung, Benediktus Longga, meninggalkan segelas kopi panas yang diseruput beberapa kali di warung, sembari menunggu hujan reda. Bersama-sama sejumlah wisatawan lainnya, ia melanjutkan menikmati dari dekat bagian-bagian situs candi. Tentu saja sambil gawainya memotret dari beberapa tempat di candi itu.
Kesannya tak begitu waktu lama, Longga yang berasal dari Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu menjadi akrab dengan empat anak sekitar Candi Penataran. Mereka bertemu di selasar lantai teras pertama sisi utara candi induk dengan dinding relief tentang Ramayana dan Krisnayana.
Perkenalan mereka kesannya begitu cepat. Mereka terasa langsung bersenda-gurau dan tertawa bersama-sama. Di antara anak-anak itu ada yang bertanya domisili Longga yang dari Magelang, dengan identitas warisan budaya dunia, berupa Candi Borobudur.
Tak diketahui gerangan isi seluruh perbincangan mereka. Terlihat anak-anak itu berceloteh sambil menunjuk-nunjuk sejumlah relief terdekat mereka berdiri. Longga yang beberapa tahun terakhir telah pensiun sebagai pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang itu tertawa.
Tiba-tiba satu demi satu anak-anak berjalan mengelilingi candi sambil telunjuknya menempel di relief demi relief. Mereka sedang menghitung satu demi satu wujud-wujud relief yang serupa. Demikian pula mereka mengerjakan hal yang sama di dinding teras kedua candi induk. Longga mengikuti berjalan dari belakang.
Di bagian sudut barat laut selasar candi, mereka lalu berkumpul. Setiap anak menyebut angka berbeda-beda. Satu demi satu terdengar melaporkan kepada Longga jumlah relief serupa yang telah dihitung. Ada yang menyebut 20 kereta, yang lain 21 burung garuda, sedangkan seorang anak menyebut 30 kuda dan satu lainnya 28 raksasa. Sesekali terdengar perdebatan singkat, namun gesturnya lucu di antara mereka karena saling menganggap adanya selisih hasil penjumlahan relief.
Disadari oleh Longga bukan soal benar atau salah jumlah hitungan relief yang anak-anak itu sampaikan. Akan tetapi, mereka sedang menorehkan penggalan perjalanan waktu di Candi Penataran untuk meraih pencermatan atas bagian demi bagian situs cagar budaya di kawasan sekitar Gunung Kelud itu.
Sebagai pensiunan aparatur sipil negara yang mengabdi di institusi pendidikan, ia menyadari pentingnya inspirasi dan pengalaman anak-anak menjalani kehidupan menuju waktu ke depan sebagai jalan edukatif untuk mencapai pribadi dewasa.
Mungkin di antara mereka kelak ada yang menjadi ahli sejarah dan cagar budaya Indonesia atau profesi panggilan hidup lainnya pada zaman baru. Barangkali di antara mereka setelah kelak menjadi manusia dewasa, teringat perjumpaan dengan seorang pengunjung Candi Penataran akhir tahun ini, melalui bermain sambil menghitung jumlah relief serupa.
Bisa jadi juga, sang waktu untuk masing-masing anak akan terus berbicara tentang suatu kesadaran penasaran dan budaya ingin tahu yang kuat atas segala hal kehidupan yang dihadapi. Salah satu jalan memenuhi kehendak ingin tahu itu dengan membongkar referensi pengalaman menghitung jumlah relief candi di dekat tempat tinggalnya. Nilai atas proses edukatif yang sedemikian, mungkin akan berjalan merayap hingga mencapai kepekaan mendalami suatu objek, peristiwa, atau semesta persoalan, sewaktu mereka menggenggam masa mendatangnya.
Setidaknya kehendak bertanya-tanya dan dorongan memasuki kedalaman dunia yang dihadapi terus menjadi pergulatan hidup, memperluas pemikiran, dan kedalaman olah batin yang memang ditakdirkan sebagai proses tak ada henti, hingga tercapai kualitas manusia mumpuni.
Setiap orang membutuhkan sang waktu dan menjalani waktu kesejarahannya. Semangat bersyukur menjadi energi positif mengeja harapan masa depan manusia dalam menempuh jalan hidup menuju situasi lebih baik. Ia akan beranjak dari waktu ke waktu berikut dengan peristiwa dan pengalaman yang ditorehkan. Tentu saja dalam setiap penggalan waktu, tantangan dihadapi selalu ada. Tanpa tantangan, ucap orang bijak, tak ada kehidupan bermakna yang tertoreh.
Budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut mengemukakan bahwa kebudayaan, dalam pengertian luas, terlahir karena manusia berada dalam perjalanan waktu kehidupan dengan keniscayaan menghadapi beraneka ragam tantangan.
Sewaktu berbagai tantangan hidup dihadapi, disadari atau tidak akan membuat manusia membuka catatan pengalaman masa lampau yang personal maupun dalam skala peradaban komunal, serta jalan edukasinya.
Apapun model edukasi, kelihatannya bersubstansi catatan materi pengalaman hidup manusia di jagat semesta. Ia kemudian mengeja catatan-catatan perjalanan kebudayaan manusia dan mengolah dengan energi kepandaian terkini disertai kekuatan karakter kebijakan untuk melahirkan jalan-jalan baru guna menyelesaikan tantangan kurun waktu terkininya.
Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko dalam pesan pastoral akhir 2022 dan menyambut tahun baru 2023 mendorong umat Katolik keuskupan setempat menjalani waktu kehidupan ke depan dengan memiliki keinginan mencari jalan-jalan baru, baik dalam hidup menggereja maupun bermasyarakat dan bernegara. Tentang semangat keindonesiaan, umat Katolik negeri ini menghidupi semboyan nilai warisan Monsinyur Albertus Soegijapranata (1896-1963) berupa relief kesadaran tentang karakter bersama "100 persen Katolik 100 persen Indonesia".
Oleh karena kesadaran jejak dalam suatu waktu perjalanan manusia sebagai nilai penting, maka harus dijaga dengan baik. Kesadaran atas jejak, kiranya akan menjadi pijakan mengeja waktu pada hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun ke depan.
Ada ungkapan bijak, sejarah menjadi guru yang baik bagi jalan hidup generasi manusia. Salah satu pernyataan Bung Karno pada pidato terakhir bertepatan dengan HUT Ke-21 RI, 17 Agustus 1966, yang telah menjadi warisan ingatan bagi kekuatan bangsa hingga saat ini, yakni "Jangan sekali-kali melupakan sejarah".
Sebagaimana anak-anak itu sewaktu bermain di Candi Penataran sambil seakan mengeja inspirasi edukatif untuk pembentukan sejarah masa depannya, kiranya begitu juga manusia negeri ini menelusuri kedalaman makna relief hidupnya untuk pijakan melangkah, setidaknya ke tahun depan.
Artikel
Saat tiba waktu mengeja hari depan
Oleh M. Hari Atmoko
26 Desember 2022 16:07 WIB
Sejumlah anak berjalan di bawah guyuran hujan di Candi Penataran Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Jumat (23/12/2022). ANTARA/Hari Atmoko
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: