Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani terdapat dua risiko pembiayaan yang perlu diwaspadai pada 2023 yakni cost of fund yang meningkat dan risiko dari nilai tukar di tengah tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral dan penguatan dolar AS.

“Kita akan mempermulus atau menjaga jatuh tempo utang yang rata-rata masih di atas 8 tahun, jadi pembiayaan kita cukup baik,” kata Sri Mulyani dalam seminar Outlook Perekonomian Indonesia 2023 di Jakarta, Rabu.

Pemerintah akan terus melakukan perhitungan terhadap potensi risiko yang terjadi di 2023 antara lain dengan menyiapkan Rp200 triliun dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) sebagai bantalan pembiayaan.

“Kita juga upsizing pembiayaan yang tidak bergantung pada volatilitas market, seperti pinjaman bilateral dan multilateral. Itu jauh lebih aman dan kita akan maksimalkan,” katanya.

Adapun pada 2023 pemerintah tidak akan melakukan burden sharing dengan Bank Indonesia karena Surat Keputusan Bersama (SKB) jilid III yang berlaku hanya sampai 31 Desember 2022.

“Di market di 2023 kita tetap oportunistik. Waktu itu, saat ada gejolak pada Juli lalu, kita tetap bisa issue bond global yang luar biasa dengan prize sangat kompetitif yakni dengan suku bunga di bawah 1,5 persen,” imbuh Sri Mulyani.

Ia mengatakan juga akan memperdalam pasar surat berharga negara, terutama memperluas investor ritel yang saat ini didominasi atau 50 persen merupakan perempuan.

Namun demikian, investor Surat Berharga Negara (SBN) berupa pemuda di bawah 30 tahun, serta mahasiswa dan pelajar juga makin bertumbuh.

“Kita semakin memperdalam basis investor ritel kita. Itu lebih menenangkan dibandingkan bond kita dipegang orang asing yang bisa melepasnya saat ada suatu isu,” ucapnya.


Baca juga: Menkeu sebut pembiayaan utang turun 24,3 persen per 14 Desember
Baca juga: BI: Penyaluran kredit baru perbankan terindikasi meningkat di November
Baca juga: PUPR: Pengembangan pembiayaan perumahan 2023 menyasar tiga kelompok