Peneliti CIPS: Indonesia perlu tinggalkan kebijakan proteksionis
20 Desember 2022 15:58 WIB
Dua petugas mengawasi aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (15/12/2022). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 5,16 miliar dolar AS pada November 2022 dengan nilai ekspor 24,12 miliar dolar AS dan impor 18,96 miliar dolar AS atau surplus neraca perdagangan ke-31 berturut-turut yang dicapai Indonesia sejak Mei 2020. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menilai Indonesia perlu meninggalkan kebijakan proteksionis untuk meningkatkan kinerja perdagangan dengan memperbaiki kualitas impor agar produk Indonesia dapat bersaing di pasar internasional.
"Indonesia masih perlu meningkatkan daya saing produknya supaya dapat bersaing di pasar internasional. Peningkatan daya saing membutuhkan upaya untuk menciptakan kualitas produk yang memenuhi standar internasional dan mampu bersaing secara harga," kata Hasran lewat keterangannya di Jakarta, Selasa.
Hasran menyampaikan peningkatan daya saing sangat diperlukan untuk membuka pasar bagi produk Indonesia. Menciptakan produk berkualitas dengan harga terjangkau sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan, dan banyak dari bahan baku tersebut hanya dapat dipenuhi melalui impor.
Selain itu, kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga dapat mempersulit integrasi Indonesia ke dalam rantai nilai global.
Baca juga: Kemenkeu: Perdagangan RI pada November lanjutkan tren surplus 31 bulan
Menurut Hasran, kebijakan yang dapat ditemukan di hampir semua industri ini membatasi pelaku industri untuk memperoleh komponen-komponen produksi dari luar negeri yang relatif lebih murah.
Walaupun kebijakan TKDN merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada perusahaan lokal, namun kebijakan itu dinilai berpotensi menghilangkan kompetisi yang sehat dalam Industri.
Terakhir, TKDN juga merupakan klausul yang ditentang dalam perjanjian dagang RCEP di mana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya.
"Untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, industri perlu diberikan keleluasaan dalam mendapatkan bahan baku berkualitas. Pada akhirnya impor yang kita lakukan itu bertujuan untuk memberikan nilai tambah, bukan semata dikonsumsi secara langsung,” tegas Hasran.
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan. Secara volume, tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Namun secara nilai, ekspor Indonesia meningkat tajam ke dunia internasional.
Peningkatan ekspor itu disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas, seperti nikel, batubara dan CPO di pasar global. Di akhir tahun 2022, harga komoditas-komoditas ini akan turun dan ini akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
Baca juga: Surplus neraca perdagangan 2023 diprediksi capai 38,5 miliar dolar AS
Hasran menambahkan, Indonesia sejak dulu hingga sekarang lebih banyak mengekspor sumber daya alam (komoditas) dibanding produk-produk jadi yang memiliki nilai tambah atau value added yang tinggi.
Untuk itu, Indonesia perlu segera beralih dari mengandalkan komoditas tambang sebagai andalan ekspornya.
Di tengah krisis iklim dan kebutuhan akan produk yang memiliki nilai keberlanjutan tinggi, lanjutnya, meningkatkan nilai tambah pada produksi dalam negeri merupakan satu hal yang dapat dilakukan untuk membuka pasar untuk produk Indonesia.
"Ekspor sumber daya alam sangat rentan terhadap global shock dibanding produk jadi bernilai tinggi. Ekspor produk jadi juga akan lebih banyak membuka kesempatan kerja serta mengurangi kemiskinan dibanding ekspor sumber daya alam (komoditas)," kata Hasran.
Baca juga: Peneliti: Perlu permudah perdagangan global untuk jaga kinerja neraca
Baca juga: Ekonom: Hilirisasi industri untuk jaga kinerja neraca perdagangan
"Indonesia masih perlu meningkatkan daya saing produknya supaya dapat bersaing di pasar internasional. Peningkatan daya saing membutuhkan upaya untuk menciptakan kualitas produk yang memenuhi standar internasional dan mampu bersaing secara harga," kata Hasran lewat keterangannya di Jakarta, Selasa.
Hasran menyampaikan peningkatan daya saing sangat diperlukan untuk membuka pasar bagi produk Indonesia. Menciptakan produk berkualitas dengan harga terjangkau sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan, dan banyak dari bahan baku tersebut hanya dapat dipenuhi melalui impor.
Selain itu, kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga dapat mempersulit integrasi Indonesia ke dalam rantai nilai global.
Baca juga: Kemenkeu: Perdagangan RI pada November lanjutkan tren surplus 31 bulan
Menurut Hasran, kebijakan yang dapat ditemukan di hampir semua industri ini membatasi pelaku industri untuk memperoleh komponen-komponen produksi dari luar negeri yang relatif lebih murah.
Walaupun kebijakan TKDN merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada perusahaan lokal, namun kebijakan itu dinilai berpotensi menghilangkan kompetisi yang sehat dalam Industri.
Terakhir, TKDN juga merupakan klausul yang ditentang dalam perjanjian dagang RCEP di mana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya.
"Untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, industri perlu diberikan keleluasaan dalam mendapatkan bahan baku berkualitas. Pada akhirnya impor yang kita lakukan itu bertujuan untuk memberikan nilai tambah, bukan semata dikonsumsi secara langsung,” tegas Hasran.
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan. Secara volume, tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Namun secara nilai, ekspor Indonesia meningkat tajam ke dunia internasional.
Peningkatan ekspor itu disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas, seperti nikel, batubara dan CPO di pasar global. Di akhir tahun 2022, harga komoditas-komoditas ini akan turun dan ini akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
Baca juga: Surplus neraca perdagangan 2023 diprediksi capai 38,5 miliar dolar AS
Hasran menambahkan, Indonesia sejak dulu hingga sekarang lebih banyak mengekspor sumber daya alam (komoditas) dibanding produk-produk jadi yang memiliki nilai tambah atau value added yang tinggi.
Untuk itu, Indonesia perlu segera beralih dari mengandalkan komoditas tambang sebagai andalan ekspornya.
Di tengah krisis iklim dan kebutuhan akan produk yang memiliki nilai keberlanjutan tinggi, lanjutnya, meningkatkan nilai tambah pada produksi dalam negeri merupakan satu hal yang dapat dilakukan untuk membuka pasar untuk produk Indonesia.
"Ekspor sumber daya alam sangat rentan terhadap global shock dibanding produk jadi bernilai tinggi. Ekspor produk jadi juga akan lebih banyak membuka kesempatan kerja serta mengurangi kemiskinan dibanding ekspor sumber daya alam (komoditas)," kata Hasran.
Baca juga: Peneliti: Perlu permudah perdagangan global untuk jaga kinerja neraca
Baca juga: Ekonom: Hilirisasi industri untuk jaga kinerja neraca perdagangan
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022
Tags: