Jakarta (ANTARA) - Kepala Center of Digital Economy and SMEs Indef, Eisha Rachbini memprediksi sektor moneter dari domestik kembali menghadapi tantangan di 2023 akibat inflasi yang tinggi dan depresiasi rupiah yang akan berlanjut pada tahun depan.

“Di 2023 ada trade off antara kita tetap tumbuh tapi di tengah ketidakpastian tersebut ada suku bunga yang tinggi dan inflasi. Sehingga ini perlu diperhatikan agar masyarakat terus memiliki daya beli dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan,” ujarnya dalam diskusi publik "Evaluasi Akhir Tahun Bidang Ekonomi dan Keuangan Negara" yang diselenggarakan secara daring di Jakarta, Selasa.

Ahli Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyampaikan bahwa inflasi pada 2022 lebih tinggi daripada 2021. Pada sisi penawaran, terjadi kenaikan harga-harga komoditas dunia dan juga ada gangguan pasokan global dan domestik. Penyumbang utama inflasi tahunan diantaranya komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga dan tarif angkutan udara.

Begitu juga dengan nilai tukar yang secara tren mengalami kenaikan dari berkisar Rp14.000 hingga kini menjadi di atas Rp15.000. Bank Indonesia pun merespons dengan menaikkan BI Rate menjadi 5,25 persen pada November.

“Ini juga merespons dari inflasi yang ada di Indonesia. Kalau kita lihat bulan Agustus-September inflasi terjadi 5,9 persen kemudian direspons bank sentral menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,75 persen,” ujarnya.

Lebih lanjut Eisha menyampaikan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia telah bersinergi cukup baik sejak pandemi berlangsung hingga saat ini di masa pemulihan. Dalam menjalankan kebijakan moneter menjaga inflasi dan nilai tukar, Bank Indonesia juga membantu kecukupan anggaran Pemerintah dengan skema burden sharing pada SBN.

Di sisi fiskal, pemerintah telah melakukan efisiensi belanja dengan mengalihkan dan mengurangi proporsi belanja pegawai, termasuk mengalihkan pada belanja untuk menopang kesejahteraan masyarakat dalam bentuk belanja sosial dan belanja lain.

Namun, pencapaian sasaran target pembangunan di 2023 yang lebih tinggi dari sasaran 2022, perlu mendapat perhatian karena tantangan resesi global di 2023 dapat mempengaruhi ekonomi domestik. Trade off antara inflasi dan tingkat pengangguran pada jangka pendek perlu mendapatkan perhatian untuk mencapai sasaran target tingkat pengangguran di 2023.

“Selain itu, inflasi yang tinggi dapat menggerus daya beli dan mempengaruhi tingkat kemiskinan dan kesenjangan,” ujar Eisha.

Ia juga menyarankan Pemerintah mencari exit strategy yang tepat untuk program-program bantuan dengan menjadikan masyarakat lebih mandiri dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sesuai target RPJMN untuk menjaga sisi fiskal terjaga tanpa mengeluarkan anggaran yang terlalu besar.


Baca juga: BI: Suku bunga The Fed capai puncak 5 persen di kuartal I 2023
Baca juga: APBN 2023 instrumen pamungkas RI hadapi bayang-bayang resesi
Baca juga: OJK: Dunia dihadapkan inflasi dan resesi secara bersamaan di 2023