Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki banyak produk cokelat lokal berkualitas premium, salah satunya yaitu Coklat Pak Tani yang diproduksi di Desa Omu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Baca juga: Mondelez Indonesia rayakan 10 tahun pencapaian "Cocoa Life"

Cokelat ini punya keunikan tersendiri dibanding produk serupa dari Sigi karena produksinya dimulai dari tahapan pemilihan buah kakao terbaik.

Coklat Pak Tani merupakan produsen cokelat batangan pertama di Sigi. Usaha ini dibangun melalui Koperasi Agro Industri Omu yang dibentuk oleh pria bernama Thomas.

Dia bersama dengan teman-teman sesama petani lainnya memproduksi cokelat batangan yang bercita rasa tidak terlalu manis atau mirip seperti dark chocolate, dengan kandungan kakao di atas 70 persen serta campuran sedikit gula dan susu.

"Manisnya pun bukan hanya dari gula pasir, melainkan juga dari gula aren yang cita rasanya juga berbeda. Selain itu, teksturnya unik seperti berpasir, karena ampas cokelat dan lemak cokelat dimasukkan juga ke dalam campuran cokelat,” kata Thomas melalui keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin.

Coklat Pak Tani baru akan memproses biji cokelat ketika mendapat pesanan, demi mempertahankan cita rasa dan aroma cokelat. Thomas mengatakan pihaknya juga berencana membuat cokelat batangan dalam varian ukuran lebih kecil agar lebih terjangkau oleh masyarakat sekitar. Selain cokelat batangan, Coklat Pak Tani juga memproduksi coklat bubuk dan wafer bersalut cokelat.

Tidak sulit bagi Thomas untuk mendapatkan biji kakao yang bagus karena dia merupakan petani kakao yang paham betul cara budidaya tanaman kakao. Itulah kenapa Thomas melabeli produknya dengan nama Coklat Pak Tani. Melalui proses yang cukup lama, Thomas belajar cara mengolah cokelat lewat pelatihan.

Menurut Thomas, tanaman kakao juga dapat membantu mengurangi risiko bencana alam. Dengan membeli cokelat Sigi, maka akan membuat petani kakao terus bersemangat membudidayakan tanaman kakao yang berperan sebagai pelindung Taman Nasional Lore Lindu.

"Hanya saja, saat ini tanaman kakao mulai ditinggalkan, karena produksinya terus menurun, terutama sejak bencana gempa yang menimpa Sigi. Karena gempa, struktur tanah berubah," ujar dia.

"Ditambah lagi, tanaman kakao mudah diserang penyakit. Pohon hidup, tapi enggan berbuah. Itulah kenapa petani mulai beralih ke tanaman pangan, seperti jagung. Sehingga, ketika musim hujan, ada kemungkinan terjadi longsor," imbuh Thomas.

Sementara itu menurut Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Sigi, kakao merupakan komoditas perkebunan yang menjadi unggulan di kabupaten tersebut. Sekitar 11.500 kepala keluarga menggantungkan hidupnya pada tanaman kakao.

"Perannya sangat penting dalam perekonomian masyarakat sebagai sumber pendapatan, juga menciptakan lapangan kerja dalam usaha yang terkait dengan kakao. Karena, produksi kakao di tingkat rumah tangga pun makin berkembang," kata Kepala DTPHP Sigi Rahmad Iqbal.

DTPHP Kabupaten Sigi juga terus mendorong semangat petani untuk terus membudidayakan kakao secara lestari serta memberikan penyuluhan tentang cara membuat bibit sendiri. Iqbal juga berharap di kemudian hari perkebunan kakao ini bisa dikelola secara lebih modern. Menurut dia, selama ini petani mengelola perkebunan dengan sangat tradisional, sedangkan teknologi dan inovasi pengembangan kakao terus berkembang.

"Ke depannya kita perlu menggunakan mesin dan manajemen pengelolaan perkebunan kakao yang lebih modern,” ujar Iqbal.

Menurut dia, banyak juga petani tidak melakukan hitungan bisnis dan menganalisis usaha taninya secara bisnis. Seharusnya mereka mengelola dengan memperhitungkan input produksi, serta penggunaan teknologi yang lebih baik. Dengan begitu, capaian hasilnya akan lebih baik, sehingga hidup mereka bisa lebih sejahtera.


Baca juga: Ceres gelar "Mom's Day Out" untuk sambut Hari Ibu

Baca juga: Kemenperin: 85 persen produk kakao intermediate diekspor ke 96 negara

Baca juga: Choco & Cheese Fest digelar di PIK Avenue