Mahasiswa ITS gagas pendeteksi tsunami berbasis "infrasound"
14 Desember 2022 17:45 WIB
Tim Sapu Jagad ITS yang menggagas inovasi alat pendeteksi dini bencana alam tsunami berbasis infrasound bernama Observatorium. (ANTARA/HO-Humas ITS)
Surabaya (ANTARA) - Tim mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang tergabung dalam tim Sapu Jagad menggagas inovasi alat pendeteksi dini bencana alam tsunami berbasis infrasound bernama Observatorium.
"Observatorium ini dapat mendeteksi tsunami melalui infrasound atau suara dengan frekuensi rendah yang ditimbulkan dari adanya pergeseran lempeng bumi," kata Juru bicara Tim Mahasiswa Teknik Fisika ITS, Abdul Hadi di Surabaya, Rabu.
Abdul Hadi mengatakan dia menggagas alat tersebut bersama Mohammad Naufal Al Farros, dan Nindya Eka Winasis dari Departemen Teknik Fisika ITS.
"Infrasound kami jadikan sebagai sumber deteksi karena memiliki beberapa keunggulan," kata Hadi yang merupakan ketua tim Sapu Jagad.
Keunggulan tersebut dikarenakan frekuensi infrasound yang relatif rendah, yaitu berkisar antara 0 - 20 Hertz dan membuat kemungkinan adanya pelemahan sinyal akibat dari gangguan sinyal lain sangat rendah.
Data mentah grafik infrasound yang didapatkan tidak memiliki banyak perubahan dan masih selaras dengan gelombang infrasound yang dihasilkan dari pergeseran lempeng bumi.
Baca juga: BMKG gandeng JICA kembangkan sistem peringatan dini gempa dan tsunami
Baca juga: BMKG pasang alat deteksi dini tsunami di Manado dan Bitung
Tidak cukup sampai di situ, Observatorium didesain membentuk sebuah elemen segi lima yang nantinya akan ditempatkan di atas tanah dan diberi jarak 1 - 3 kilometer antarelemen.
Setiap elemen juga ditunjang dengan sensor yang berfungsi untuk mendeteksi sumber infrasound yang timbul, serta filter noise reduction untuk meminimalkan adanya sinyal yang dapat mengganggu Observatorium mendeteksi lokasi pergeseran lempeng bumi atau yang kerap disebut dengan gempa ini.
Selain memberikan inovasi dari segi alat, tim ini juga menyertakan rencana lokasi penempatan Observatorium di Indonesia yang disebut dengan Triangulasi Observatorium.
"Lokasi yang dipilih berdasarkan pada peta ring of fire, peta potensi bencana, peta batuan induk, dan perpotongan garis diagonal yang dibuat pada peta," katanya.
Dari keempat landasan tersebut, tim Sapu Jagad akhirnya menentukan tiga titik lokasi yang direncanakan sebagai lokasi penempatan Observatorium, yaitu di Kota Malang, Padang, dan Palu.
"Terpilihnya ketiga lokasi tersebut sudah dapat menjangkau seluruh lokasi yang ada di Indonesia apabila suatu gempa yang berpotensi tsunami terjadi," ujar Hadi.
Mahasiswa kelahiran tahun 2000 itu juga menyebutkan bahwa cara kerja alat ini terbagi menjadi tiga proses, yaitu deteksi, asosiasi, dan lokalisasi. Proses deteksi merupakan proses awal untuk mendeteksi apakah gempa yang terjadi itu akan menimbulkan tsunami.
"Dalam prosesnya, saat gempa terjadi maka sensor elemen Observatorium yang terdekat dari lokasi gempa secara otomatis akan mendeteksi titik infrasound muncul," katanya.
Kemudian sinyal infrasound tersebut ditangkap oleh sistem bernama Adaptive F-Detector (AFD) untuk dianalisis apakah gempa yang terjadi itu akan berpotensi tsunami atau tidak. Apabila hasil analisis AFD menunjukkan adanya potensi tsunami, maka sistem AFD akan otomatis mengeluarkan warning system atau peringatan.
Data AFD yang berupa grafik tersebut kemudian disalurkan ke dua stasiun Observatorium lainnya guna memastikan lokasi terjadinya gempa yang akan berpotensi tsunami.
Dalam tahap pemastiannya, alat ini dirancang dengan sistem Joint'Likehood, yaitu sistem yang dibuat khusus untuk mengobservasi lokasi yang berpotensi tsunami pada ketiga Observatorium yang ada.
Pada tahap ini, papar Hadi, digunakan sistem bernama Bayesian Infrasound Source Localization (BISL). Sistem ini akan melakukan analisis hasil dari tahap asosiasi guna memberikan lokasi pasti dari tsunami yang akan datang.
Kemudian data diolah kembali untuk memperkirakan besarnya volume tsunami yang akan terjadi. Dari data akhir di tahap lokalisasi inilah yang kemudian akan diinformasikan kepada masyarakat apabila akan terjadi tsunami di lokasi tertentu dengan volume tsunami sekian.
Berbasis infrasound, inovasi alat karya tim Sapu Jagad ini dapat mendeteksi potensi terjadinya tsunami 15 menit lebih cepat dibandingkan alat pendeteksi tsunami lainnya seperti Buoy. Sehingga, Observatorium dapat mendeteksi suatu lokasi akan terjadi tsunami 30 menit sebelum kejadian.
"Dengan begitu, warga di sekitar lokasi yang berpotensi tsunami dapat memiliki waktu evakuasi lebih lama," tutur Hadi.
Baca juga: Pasaman Barat peroleh bantuan Stasiun Pasang Surut deteksi tsunami
Baca juga: BPBD sebut alat pendeteksi tsunami di laut selatan Cianjur rusak
"Observatorium ini dapat mendeteksi tsunami melalui infrasound atau suara dengan frekuensi rendah yang ditimbulkan dari adanya pergeseran lempeng bumi," kata Juru bicara Tim Mahasiswa Teknik Fisika ITS, Abdul Hadi di Surabaya, Rabu.
Abdul Hadi mengatakan dia menggagas alat tersebut bersama Mohammad Naufal Al Farros, dan Nindya Eka Winasis dari Departemen Teknik Fisika ITS.
"Infrasound kami jadikan sebagai sumber deteksi karena memiliki beberapa keunggulan," kata Hadi yang merupakan ketua tim Sapu Jagad.
Keunggulan tersebut dikarenakan frekuensi infrasound yang relatif rendah, yaitu berkisar antara 0 - 20 Hertz dan membuat kemungkinan adanya pelemahan sinyal akibat dari gangguan sinyal lain sangat rendah.
Data mentah grafik infrasound yang didapatkan tidak memiliki banyak perubahan dan masih selaras dengan gelombang infrasound yang dihasilkan dari pergeseran lempeng bumi.
Baca juga: BMKG gandeng JICA kembangkan sistem peringatan dini gempa dan tsunami
Baca juga: BMKG pasang alat deteksi dini tsunami di Manado dan Bitung
Tidak cukup sampai di situ, Observatorium didesain membentuk sebuah elemen segi lima yang nantinya akan ditempatkan di atas tanah dan diberi jarak 1 - 3 kilometer antarelemen.
Setiap elemen juga ditunjang dengan sensor yang berfungsi untuk mendeteksi sumber infrasound yang timbul, serta filter noise reduction untuk meminimalkan adanya sinyal yang dapat mengganggu Observatorium mendeteksi lokasi pergeseran lempeng bumi atau yang kerap disebut dengan gempa ini.
Selain memberikan inovasi dari segi alat, tim ini juga menyertakan rencana lokasi penempatan Observatorium di Indonesia yang disebut dengan Triangulasi Observatorium.
"Lokasi yang dipilih berdasarkan pada peta ring of fire, peta potensi bencana, peta batuan induk, dan perpotongan garis diagonal yang dibuat pada peta," katanya.
Dari keempat landasan tersebut, tim Sapu Jagad akhirnya menentukan tiga titik lokasi yang direncanakan sebagai lokasi penempatan Observatorium, yaitu di Kota Malang, Padang, dan Palu.
"Terpilihnya ketiga lokasi tersebut sudah dapat menjangkau seluruh lokasi yang ada di Indonesia apabila suatu gempa yang berpotensi tsunami terjadi," ujar Hadi.
Mahasiswa kelahiran tahun 2000 itu juga menyebutkan bahwa cara kerja alat ini terbagi menjadi tiga proses, yaitu deteksi, asosiasi, dan lokalisasi. Proses deteksi merupakan proses awal untuk mendeteksi apakah gempa yang terjadi itu akan menimbulkan tsunami.
"Dalam prosesnya, saat gempa terjadi maka sensor elemen Observatorium yang terdekat dari lokasi gempa secara otomatis akan mendeteksi titik infrasound muncul," katanya.
Kemudian sinyal infrasound tersebut ditangkap oleh sistem bernama Adaptive F-Detector (AFD) untuk dianalisis apakah gempa yang terjadi itu akan berpotensi tsunami atau tidak. Apabila hasil analisis AFD menunjukkan adanya potensi tsunami, maka sistem AFD akan otomatis mengeluarkan warning system atau peringatan.
Data AFD yang berupa grafik tersebut kemudian disalurkan ke dua stasiun Observatorium lainnya guna memastikan lokasi terjadinya gempa yang akan berpotensi tsunami.
Dalam tahap pemastiannya, alat ini dirancang dengan sistem Joint'Likehood, yaitu sistem yang dibuat khusus untuk mengobservasi lokasi yang berpotensi tsunami pada ketiga Observatorium yang ada.
Pada tahap ini, papar Hadi, digunakan sistem bernama Bayesian Infrasound Source Localization (BISL). Sistem ini akan melakukan analisis hasil dari tahap asosiasi guna memberikan lokasi pasti dari tsunami yang akan datang.
Kemudian data diolah kembali untuk memperkirakan besarnya volume tsunami yang akan terjadi. Dari data akhir di tahap lokalisasi inilah yang kemudian akan diinformasikan kepada masyarakat apabila akan terjadi tsunami di lokasi tertentu dengan volume tsunami sekian.
Berbasis infrasound, inovasi alat karya tim Sapu Jagad ini dapat mendeteksi potensi terjadinya tsunami 15 menit lebih cepat dibandingkan alat pendeteksi tsunami lainnya seperti Buoy. Sehingga, Observatorium dapat mendeteksi suatu lokasi akan terjadi tsunami 30 menit sebelum kejadian.
"Dengan begitu, warga di sekitar lokasi yang berpotensi tsunami dapat memiliki waktu evakuasi lebih lama," tutur Hadi.
Baca juga: Pasaman Barat peroleh bantuan Stasiun Pasang Surut deteksi tsunami
Baca juga: BPBD sebut alat pendeteksi tsunami di laut selatan Cianjur rusak
Pewarta: Willi Irawan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022
Tags: