ADB pangkas prospek pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia
14 Desember 2022 08:16 WIB
Arsip foto - Seorang pekerja berjalan melewati kantor pusat Asian Development Bank (ADB) di Manila 17 Juni 2009. ANTARA/REUTERS/Cheryl Ravelo.
Manila (ANTARA) - Bank Pembangunan Asia (ADB) memangkas prakiraan pertumbuhannya untuk negara-negara berkembang Asia tahun ini dan tahun depan, karena kawasan ini menghadapi hambatan yang terus-menerus dari konflik Rusia-Ukraina, kebijakan COVID-19 China dan ekonomi global yang melambat.
Pemberi pinjaman yang berbasis di Manila itu mengatakan dalam pelengkap laporan Asia Development Outlook, pihaknya memperkirakan pertumbuhan 2022 di negara-negara berkembang Asia melambat menjadi 4,2 persen, turun sedikit dari perkiraan 4,3 persen pada September dan menandai kelima kalinya prospek diturunkan.
Untuk tahun depan, ekonomi blok gabungan, yang meliputi China dan India, diproyeksikan tumbuh 4,6 persen, jauh lebih lambat dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,9 persen.
"Pemulihan di Asia yang sedang berkembang diperkirakan akan berlanjut tetapi kehilangan tenaga," kata ADB dalam laporan yang dirilis pada Rabu.
Pertumbuhan di China kemungkinan akan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu diperkirakan tumbuh 3,0 persen tahun ini dan 4,3 persen tahun depan, lebih lemah dari perkiraan ADB sebelumnya masing-masing sebesar 3,3 persen dan 4,5 persen.
"Aktivitas ekonomi di RRC (Republik Rakyat China) tetap terhambat oleh wabah COVID-19 yang sporadis, pembatasan nol-COVID, dan berlanjutnya pelemahan di pasar properti," kata ADB.
Prospek pertumbuhan untuk sub-kawasan beragam, dengan prakiraan 2022 untuk Asia Tenggara dan Asia Tengah direvisi lebih tinggi, sedangkan proyeksi untuk Asia Timur tahun ini dan berikutnya dipangkas karena melemahnya ekonomi China.
Kawasan ini mungkin melihat sedikit jeda dari kenaikan harga konsumen dengan inflasi regional sekarang diperkirakan akan menetap di 4,4 persen tahun ini dari 4,5 persen sebelumnya, dan 4,2 persen pada 2023, kata ADB.
ADB memperingatkan risiko terhadap prospek pertumbuhan tetap ada karena konflik Rusia-Ukraina dapat memperbaharui lonjakan harga-harga komoditas, memicu inflasi global dan mendorong pengetatan moneter lebih lanjut.
Baca juga: ADB setujui RI pinjam 138,52 juta dolar untuk kembangkan kawasan sains
Baca juga: Stafsus: Dukungan ADB merupakan penghargaan atas transformasi BUMN
Baca juga: Dukung reformasi BUMN RI, ADB setujui pinjaman 500 juta dolar AS
Pemberi pinjaman yang berbasis di Manila itu mengatakan dalam pelengkap laporan Asia Development Outlook, pihaknya memperkirakan pertumbuhan 2022 di negara-negara berkembang Asia melambat menjadi 4,2 persen, turun sedikit dari perkiraan 4,3 persen pada September dan menandai kelima kalinya prospek diturunkan.
Untuk tahun depan, ekonomi blok gabungan, yang meliputi China dan India, diproyeksikan tumbuh 4,6 persen, jauh lebih lambat dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,9 persen.
"Pemulihan di Asia yang sedang berkembang diperkirakan akan berlanjut tetapi kehilangan tenaga," kata ADB dalam laporan yang dirilis pada Rabu.
Pertumbuhan di China kemungkinan akan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu diperkirakan tumbuh 3,0 persen tahun ini dan 4,3 persen tahun depan, lebih lemah dari perkiraan ADB sebelumnya masing-masing sebesar 3,3 persen dan 4,5 persen.
"Aktivitas ekonomi di RRC (Republik Rakyat China) tetap terhambat oleh wabah COVID-19 yang sporadis, pembatasan nol-COVID, dan berlanjutnya pelemahan di pasar properti," kata ADB.
Prospek pertumbuhan untuk sub-kawasan beragam, dengan prakiraan 2022 untuk Asia Tenggara dan Asia Tengah direvisi lebih tinggi, sedangkan proyeksi untuk Asia Timur tahun ini dan berikutnya dipangkas karena melemahnya ekonomi China.
Kawasan ini mungkin melihat sedikit jeda dari kenaikan harga konsumen dengan inflasi regional sekarang diperkirakan akan menetap di 4,4 persen tahun ini dari 4,5 persen sebelumnya, dan 4,2 persen pada 2023, kata ADB.
ADB memperingatkan risiko terhadap prospek pertumbuhan tetap ada karena konflik Rusia-Ukraina dapat memperbaharui lonjakan harga-harga komoditas, memicu inflasi global dan mendorong pengetatan moneter lebih lanjut.
Baca juga: ADB setujui RI pinjam 138,52 juta dolar untuk kembangkan kawasan sains
Baca juga: Stafsus: Dukungan ADB merupakan penghargaan atas transformasi BUMN
Baca juga: Dukung reformasi BUMN RI, ADB setujui pinjaman 500 juta dolar AS
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: