Telaah
Pekerja platform harus dilindungi
Oleh Yashinta Difa Pramudyani
13 Desember 2022 13:00 WIB
Perlindungan pekerja platform menjadi salah satu topik yang disoroti dalam diskusi panel "Strong Foundations for Social and Employment Protection and Resilience" di Pertemuan Regional ke-17 ILO Asia-Pasifik di Singapura, Kamis (8/12/2022). (ANTARA/HO-ILO Asia Pacific)
Jakarta (ANTARA) - Perubahan dunia yang begitu cepat yang didorong kemajuan teknologi digital menciptakan banyak peluang sekaligus tantangan di sektor ketenagakerjaan.
Pertumbuhan berbagai platform ekonomi berbasis digital telah mengubah kebiasaan masyarakat, mulai dari melakukan transaksi pembayaran, berbelanja, transportasi, bahkan belajar secara daring.
Meskipun platform digital digadang-gadang dapat menjadi motor pendorong ekonomi dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru, tetapi aspek keamanan kerja dan perlindungan sosial para pekerjanya perlu diperhatikan secara serius.
Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Gilbert F Houngbo mengakui bahwa perlindungan bagi pekerja platform masih sangat lemah, bahkan “tidak ada”, karena kurangnya hubungan kerja.
Rentan kehilangan pekerjaan, jam kerja tidak menentu, penghasilan yang tidak terprediksi, kesenjangan upah berbasis gender, dan tidak adanya asuransi kesehatan serta perlindungan hukum adalah beberapa hal yang disebutnya menyebabkan lemahnya perlindungan bagi pekerja platform.
Karena itu, kata Gilbert, ILO berupaya mendorong adanya sebuah instrumen perlindungan yang bisa diterapkan secara internasional yang dapat membantu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi para pekerja platform, sekaligus mempromosikan sisi positif dari ekonomi berbasis platform digital itu sendiri.
ILO terus mengadvokasi pemerintah, serikat pekerja, serta asosiasi pengusaha dalam proses mewujudkan paket sosial minimum yang menurut Gilbert harus mencakup setidaknya asuransi pengangguran serta definisi ulang hubungan kerja khususnya untuk ekonomi berbasis platform digital.
Di China, sebagian besar pekerja platform yang jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 18 juta orang, belum bergabung dengan sistem asuransi atau perlindungan sosial.
Sistem perlindungan sosial yang dirancang berdasarkan hubungan kerja tradisional, menurut Wakil Direktur Jenderal Perjanjian Kerja Sama Internasional Kementerian Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial China Qian Xiaoyan, menjadi alasan utama para pekerja platform enggan bergabung.
Karena itu, pada Juli lalu China mengeluarkan pedoman yang menuntut perusahaan platform untuk meningkatkan perlindungan hak tenaga kerja mereka dalam berbagai aspek, termasuk non diskriminasi upah dan asuransi sosial.
Selain itu, panduan asuransi kecelakaan harus disiapkan bagi pekerja khususnya pengemudi untuk pengiriman, ojek, dan layanan lain yang sangat rentan mengalami cedera ketika melakukan tugas mereka.
Sementara itu di Indonesia, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan bahwa perkembangan era digitalisasi yang sangat mempengaruhi perubahan jenis pekerjaan di masa depan, telah mendesak pemerintah untuk semakin meningkatkan perlindungan bagi pekerja di sektor ini.
Perubahan tersebut, ujar dia, tidak hanya terjadi pada jenis pekerjaan, karakteristik pekerjaan, maupun keterampilan yang dibutuhkan.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendorong perlindungan bagi pekerja platform antara lain dengan mendesak perusahaan-perusahaan berbasis digital untuk memenuhi hak-hak para pekerjanya, termasuk pemberian pesangon bagi pekerja yang diberhentikan.
Bagi tenaga kerja yang diberhentikan, Ida mengatakan bahwa pemerintah akan membantu memberikan mereka akses ke lapangan pekerjaan baru serta mempersiapkan mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan.
Di samping itu, Kemnaker RI telah memiliki program jaminan kehilangan pekerjaan, melalui kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan yang disebutnya telah diikuti oleh sebagian besar pekerja platform digital.
Jaminan ketenagakerjaan juga disebutnya mencakup akses pelatihan, akses ke pasar kerja, dan bantuan tunai.
Namun, menurut perwakilan dari kelompok buruh Indonesia, perlindungan bagi pekerja platform kurang kuat karena status mereka yang dianggap “mitra” alih-alih tenaga kerja—sehingga perusahaan tidak merasa wajib melindungi mereka.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban meminta pemerintah membuat regulasi khusus untuk melindungi pekerja platform, serta pekerja lain yang termasuk dalam kelompok non-standard employment.
Pasalnya, UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini dianggapnya belum cukup mengakomodasi kebutuhan para pekerja dalam kelompok tersebut, yang pada dasarnya adalah pekerja informal.
Guna melakukannya, pemerintah perlu pertama-tama merujuk pada perubahan definisi tenaga kerja, sebelum kemudian menyusun regulasi khusus yang mengatur hak non-standard employment, termasuk di antaranya hak berserikat, hak melakukan perlindungan kolektif, serta hak perjanjian kolektif (bargaining).
Diperjelas
Secara global, diperkirakan terdapat 777 platform tenaga kerja, di mana 383 di antaranya adalah delivery-based platform atau platform yang memfasilitasi pekerjaan jasa pengantaran.
Pesatnya perkembangan platform ini didukung oleh besarnya investasi kepada platform tenaga kerja, yang diperkirakan secara global mencapai 119 miliar dolar AS, dengan keuntungan secara global mencapai 52 miliar dolar AS, menurut data ILO pada 2020.
Pada pasar ini terdapat tiga pihak yang saling berinteraksi melalui platform, yaitu pekerja, pemberi kerja, dan konsumen.
Bagi pemberi kerja, kehadiran tenaga kerja digital ini dapat mendorong efektivitas dan efisiensi. Contohnya, pemberi kerja dapat melakukan outsourcing pekerja dengan cepat, yaitu antara 2-4 hari, jauh lebih cepat dari melalui agen tradisional yang mencapai 6-8 minggu dan mendapatkan akses talenta.
Namun, tantangan dalam memastikan perlindungan sosial bagi pekerja platform perlu diperjelas berdasarkan status hukum pekerja platform—yang hingga kini masih belum terdefinisikan dengan tepat, apakah mereka dianggap sebagai karyawan atau wiraswasta.
Ketidakjelasan status dan perubahan definisi wirausaha murni, dinilai telah menciptakan kebingungan terkait siapa pihak yang bertanggungjawab membayar iuran perlindungan sosial.
Associate Professor Kebijakan Sosial pada Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Chung-Ang Korea Selatan Sophia Seung-Yoon Lee menyebut pekerja platform sebagai “wirausaha yang bergantung” karena status mereka yang cenderung sebagai wirausaha tetapi proses dan kontrol tenaga kerja tidak otonom.
Di Korsel, pekerja platform termasuk dalam jenis pekerjaan khusus karena proses kerja yang berbeda dibandingkan cara tradisional, mulai dari perintah kerja, pembentukan keterampilan, harga kerja, penetapan upah, jam kerja, dan kontrol tenaga kerja.
Karena ketidakjelasan definisi dan kategori pekerja platform, sistem perlindungan sosial yang ada dalam UU ketenagakerjaan, yang lebih mengatur perlindungan untuk hubungan kerja standar/tradisional serta wirausaha, juga menjadi tidak jelas.
Akibatnya, Sophia menjelaskan, para pekerja platform yang tergolong berpenghasilan rendah juga rentan terpapar krisis dan tidak dijamin haknya untuk berserikat.
Jika ingin beradaptasi sama seperti pekerja upahan untuk mengimbangi dan mempertahankan pendapatan tertentu, pekerja platform harus bekerja lebih keras dan lebih cepat, bahkan terkadang dalam situasi berbahaya.
Sophia menyoroti betapa ironisnya tantangan yang dihadapi para pekerja platform digital mengingat mekanisme penetapan upah yang belum bisa diakomodasi melalui UU ketenagakerjaan yang ada saat ini, sementara perlindungan sosial serta keselamatan dan kesehatan kerja mereka masih diarahkan pada hubungan kerja yang standar/tradisional atau berdasarkan definisi wirausaha murni.
Terlebih, ekonomi digital yang dianggap sangat potensial juga tidak luput dari krisis berkepanjangan akibat dampak pandemi COVID-19.
Beberapa perusahaan platform digital di Indonesia seperti PT GoTo dan Ruangguru diketahui melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal terhadap ribuan pekerjanya yang dipicu upaya untuk menutup kerugian dan memburuknya situasi pasar global.
Kompleksnya isu mengenai pekerja platform, juga jenis pekerjaan baru lainnya yang perlu dipastikan perlindungan sosialnya, seharusnya perlu menjadi bahan diskusi terus-menerus antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha dalam kerangka kerja sama tripartit—yang mendasari berdirinya ILO.
Perkembangan dunia kerja yang ditandai dengan terciptanya jenis-jenis pekerjaan baru tentunya menuntut perlindungan yang lebih adil dan menyeluruh, melalui aturan nasional dan instrumen internasional yang khusus mengatur tentang hal itu.
Pertumbuhan berbagai platform ekonomi berbasis digital telah mengubah kebiasaan masyarakat, mulai dari melakukan transaksi pembayaran, berbelanja, transportasi, bahkan belajar secara daring.
Meskipun platform digital digadang-gadang dapat menjadi motor pendorong ekonomi dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru, tetapi aspek keamanan kerja dan perlindungan sosial para pekerjanya perlu diperhatikan secara serius.
Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Gilbert F Houngbo mengakui bahwa perlindungan bagi pekerja platform masih sangat lemah, bahkan “tidak ada”, karena kurangnya hubungan kerja.
Rentan kehilangan pekerjaan, jam kerja tidak menentu, penghasilan yang tidak terprediksi, kesenjangan upah berbasis gender, dan tidak adanya asuransi kesehatan serta perlindungan hukum adalah beberapa hal yang disebutnya menyebabkan lemahnya perlindungan bagi pekerja platform.
Karena itu, kata Gilbert, ILO berupaya mendorong adanya sebuah instrumen perlindungan yang bisa diterapkan secara internasional yang dapat membantu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi para pekerja platform, sekaligus mempromosikan sisi positif dari ekonomi berbasis platform digital itu sendiri.
ILO terus mengadvokasi pemerintah, serikat pekerja, serta asosiasi pengusaha dalam proses mewujudkan paket sosial minimum yang menurut Gilbert harus mencakup setidaknya asuransi pengangguran serta definisi ulang hubungan kerja khususnya untuk ekonomi berbasis platform digital.
Di China, sebagian besar pekerja platform yang jumlahnya diperkirakan mencapai sekitar 18 juta orang, belum bergabung dengan sistem asuransi atau perlindungan sosial.
Sistem perlindungan sosial yang dirancang berdasarkan hubungan kerja tradisional, menurut Wakil Direktur Jenderal Perjanjian Kerja Sama Internasional Kementerian Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial China Qian Xiaoyan, menjadi alasan utama para pekerja platform enggan bergabung.
Karena itu, pada Juli lalu China mengeluarkan pedoman yang menuntut perusahaan platform untuk meningkatkan perlindungan hak tenaga kerja mereka dalam berbagai aspek, termasuk non diskriminasi upah dan asuransi sosial.
Selain itu, panduan asuransi kecelakaan harus disiapkan bagi pekerja khususnya pengemudi untuk pengiriman, ojek, dan layanan lain yang sangat rentan mengalami cedera ketika melakukan tugas mereka.
Sementara itu di Indonesia, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan bahwa perkembangan era digitalisasi yang sangat mempengaruhi perubahan jenis pekerjaan di masa depan, telah mendesak pemerintah untuk semakin meningkatkan perlindungan bagi pekerja di sektor ini.
Perubahan tersebut, ujar dia, tidak hanya terjadi pada jenis pekerjaan, karakteristik pekerjaan, maupun keterampilan yang dibutuhkan.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendorong perlindungan bagi pekerja platform antara lain dengan mendesak perusahaan-perusahaan berbasis digital untuk memenuhi hak-hak para pekerjanya, termasuk pemberian pesangon bagi pekerja yang diberhentikan.
Bagi tenaga kerja yang diberhentikan, Ida mengatakan bahwa pemerintah akan membantu memberikan mereka akses ke lapangan pekerjaan baru serta mempersiapkan mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan.
Di samping itu, Kemnaker RI telah memiliki program jaminan kehilangan pekerjaan, melalui kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan yang disebutnya telah diikuti oleh sebagian besar pekerja platform digital.
Jaminan ketenagakerjaan juga disebutnya mencakup akses pelatihan, akses ke pasar kerja, dan bantuan tunai.
Namun, menurut perwakilan dari kelompok buruh Indonesia, perlindungan bagi pekerja platform kurang kuat karena status mereka yang dianggap “mitra” alih-alih tenaga kerja—sehingga perusahaan tidak merasa wajib melindungi mereka.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban meminta pemerintah membuat regulasi khusus untuk melindungi pekerja platform, serta pekerja lain yang termasuk dalam kelompok non-standard employment.
Pasalnya, UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini dianggapnya belum cukup mengakomodasi kebutuhan para pekerja dalam kelompok tersebut, yang pada dasarnya adalah pekerja informal.
Guna melakukannya, pemerintah perlu pertama-tama merujuk pada perubahan definisi tenaga kerja, sebelum kemudian menyusun regulasi khusus yang mengatur hak non-standard employment, termasuk di antaranya hak berserikat, hak melakukan perlindungan kolektif, serta hak perjanjian kolektif (bargaining).
Diperjelas
Secara global, diperkirakan terdapat 777 platform tenaga kerja, di mana 383 di antaranya adalah delivery-based platform atau platform yang memfasilitasi pekerjaan jasa pengantaran.
Pesatnya perkembangan platform ini didukung oleh besarnya investasi kepada platform tenaga kerja, yang diperkirakan secara global mencapai 119 miliar dolar AS, dengan keuntungan secara global mencapai 52 miliar dolar AS, menurut data ILO pada 2020.
Pada pasar ini terdapat tiga pihak yang saling berinteraksi melalui platform, yaitu pekerja, pemberi kerja, dan konsumen.
Bagi pemberi kerja, kehadiran tenaga kerja digital ini dapat mendorong efektivitas dan efisiensi. Contohnya, pemberi kerja dapat melakukan outsourcing pekerja dengan cepat, yaitu antara 2-4 hari, jauh lebih cepat dari melalui agen tradisional yang mencapai 6-8 minggu dan mendapatkan akses talenta.
Namun, tantangan dalam memastikan perlindungan sosial bagi pekerja platform perlu diperjelas berdasarkan status hukum pekerja platform—yang hingga kini masih belum terdefinisikan dengan tepat, apakah mereka dianggap sebagai karyawan atau wiraswasta.
Ketidakjelasan status dan perubahan definisi wirausaha murni, dinilai telah menciptakan kebingungan terkait siapa pihak yang bertanggungjawab membayar iuran perlindungan sosial.
Associate Professor Kebijakan Sosial pada Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Chung-Ang Korea Selatan Sophia Seung-Yoon Lee menyebut pekerja platform sebagai “wirausaha yang bergantung” karena status mereka yang cenderung sebagai wirausaha tetapi proses dan kontrol tenaga kerja tidak otonom.
Di Korsel, pekerja platform termasuk dalam jenis pekerjaan khusus karena proses kerja yang berbeda dibandingkan cara tradisional, mulai dari perintah kerja, pembentukan keterampilan, harga kerja, penetapan upah, jam kerja, dan kontrol tenaga kerja.
Karena ketidakjelasan definisi dan kategori pekerja platform, sistem perlindungan sosial yang ada dalam UU ketenagakerjaan, yang lebih mengatur perlindungan untuk hubungan kerja standar/tradisional serta wirausaha, juga menjadi tidak jelas.
Akibatnya, Sophia menjelaskan, para pekerja platform yang tergolong berpenghasilan rendah juga rentan terpapar krisis dan tidak dijamin haknya untuk berserikat.
Jika ingin beradaptasi sama seperti pekerja upahan untuk mengimbangi dan mempertahankan pendapatan tertentu, pekerja platform harus bekerja lebih keras dan lebih cepat, bahkan terkadang dalam situasi berbahaya.
Sophia menyoroti betapa ironisnya tantangan yang dihadapi para pekerja platform digital mengingat mekanisme penetapan upah yang belum bisa diakomodasi melalui UU ketenagakerjaan yang ada saat ini, sementara perlindungan sosial serta keselamatan dan kesehatan kerja mereka masih diarahkan pada hubungan kerja yang standar/tradisional atau berdasarkan definisi wirausaha murni.
Terlebih, ekonomi digital yang dianggap sangat potensial juga tidak luput dari krisis berkepanjangan akibat dampak pandemi COVID-19.
Beberapa perusahaan platform digital di Indonesia seperti PT GoTo dan Ruangguru diketahui melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal terhadap ribuan pekerjanya yang dipicu upaya untuk menutup kerugian dan memburuknya situasi pasar global.
Kompleksnya isu mengenai pekerja platform, juga jenis pekerjaan baru lainnya yang perlu dipastikan perlindungan sosialnya, seharusnya perlu menjadi bahan diskusi terus-menerus antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha dalam kerangka kerja sama tripartit—yang mendasari berdirinya ILO.
Perkembangan dunia kerja yang ditandai dengan terciptanya jenis-jenis pekerjaan baru tentunya menuntut perlindungan yang lebih adil dan menyeluruh, melalui aturan nasional dan instrumen internasional yang khusus mengatur tentang hal itu.
Copyright © ANTARA 2022
Tags: