Tangerang (ANTARA) - Dalam rangka menyosialisasikan tindak pidana terorisme yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik (Ditjen IKP) menggelar talkshow dengan tema “Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia menurut KUHP Baru: Suatu Catatan Akhir Tahun”. Menggandeng Fakultas Hukum Universitas Indonesia, talkshow ini digelar guna meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dalam KUHP Baru.

Direktur Informasi Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Kemenkominfo, Bambang Gunawan, dalam sambutannya mengatakan bahwa pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan gambaran menarik tentang perjalanan politik hukum pidana Indonesia dalam melakukan pemberantasan tindak pidana serius. Ia mengungkapkan bahwa pembaharuan kebijakan terorisme dilakukan dengan mengubah dari tindakan represif berupa ancaman pidana maksimal, pidana mati, atau pidana seumur hidup menjadi suatu tindakan preventif.



“Kondisi ini diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2003,” jelasnya.



Ia juga mengatakan bahwa upaya pencegahan tindak terorisme sebagai suatu isu global di Indonesia, juga direspon dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang pencegahan pendanaan terorisme.



Bambang mengatakan bahwa lahirnya KUHP Baru di Indonesia yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu menjadi momentum strategis. Sebab, menandakan bahwa politik hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan dan pergeseran dari kolonial menjadi progresif.



“Talkshow ini mengangkat tema yang spesifik dan relatif jarang dibicarakan dan ini menjadi penting, karena di sini kita bisa melihat kebijakan anti terorisme dan pendanaan terorisme ke depan dengan berlakunya KUHP Baru,” kata Edmon.



Sebelumnya, Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG, Muhammad Syauqillah, dalam sambutannya mengatakan ideologi Anti Pancasila ada di seluruh varian organisasi radikal terorisme di Indonesia. Menurutnya, hal ini menjadi menarik karena di dalamnya terdapat penyebaran ideologi serta berkaitan dengan studi dan hal tersebut tidak dimasukkan dalam delik pidana.



“Hal ini sangat menarik untuk kita soroti dan diskusikan nantinya, selain delik pidana terorisme dan delik kejahatan terhadap ideologi negara. Semoga kontribusi kita ini dapat menjaga negara tercinta Republik Indonesia, ” jelas Syauqillah.



Mengawali sesi paparan, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, yang hadir secara online mengatakan bahwa selain demokratisasi, aktualisasi, modernisasi, dan harmonisasi, salah satu misi utama lain yang ada di dalam KUHP Baru adalah rekodifikasi terbuka dan terbatas.



Ia mengungkapkan jika rekodifikasi terbuka dan terbatas merupakan satu prinsip yang diterjemahkan di dalam Pasal 187 KUHP Baru, yang menggantikan Pasal 103 di KUHP lama. Bahwa, Buku Kesatu KUHP juga berlaku bagi semua tindak pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar KUHP, kecuali jika ditentukan lain menurut Undang-Undang.



“Mengapa ini perlu sekali kami rumuskan? Karena, sampai dengan detik ini kita juga masih punya berbagai Undang-Undang yang tidak memiliki pola yang sama, baik dalam rumusan kriminalisasi, jenis pidana, jenis tindakan, dan sanksinya itu semua sangat beragam. Ini tentu saja menimbulkan kesulitan di dalam pembicaraan mengenai hukum pidana di Indonesia,” jelasnya.



Ia juga menambahkan tentang kriteria lain, yakni adanya lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat dan memiliki kewenangan khusus, seperti KPK, BNN, dan Komnas HAM, yang kesemuanya adalah lembaga-lembaga yang diberi tugas khusus untuk menangani tindak pidana tertentu.



“Juga yang didukung oleh konvensi nasional baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum, dan yang penting adalah tindak pidana tersebut merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat dan sangat dikutuk oleh masyarakat. Inilah yang menjadi landasan kenapa tentang terorisme masuk ke dalam KUHP Baru,” jelasnya.



Pada kesempatan yang sama, Ketua Satuan Tugas Wilayah Bengkulu Datasemen Khusus 88 Anti Teror, Imam Subandi, mengatakan bahwa yang paling perlu dicermati setelah tiga tahun efektif KUHP Baru berlaku salah satunya ada penggantian tuduhan pasal atau sanggahan pasal.
“Mudah-mudahan terjadi kesamaan, makanya sosialisasi seperti ini yang digagas oleh Kemenkominfo bagus sekali, supaya nanti audiens terlibat di dalam criminal justice system. Karena nanti polisi kerja di depan, disampaikan kepada penuntut dan penuntut menyampaikan kepada hakim. Kalau semua punya perspektif dan interpretasi terhadap maksud Undang-Undang yang sama, akan sangat mudah,” jelasnya.



Ia mencontohkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 yang memberikan keleluasaan bagi polisi untuk fokus pada scientific investigation model, agar prosesnya tidak menzalimi tetapi mendudukkan pada perkara yang semestinya. Karena menurutnya, yang dikriminalisasi bukan pangkat, jabatan, atau yang nampak dari luar, tetapi dari unsur perbuatannya.



Imam menyebutkan bahwa intinya, Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 menjadi lebih efektif bagi penegakan hukum karena polisi khususnya Densus 88 tidak harus menunggu sampai perbuatan teror terjadi.



“Terkesan menurut para pejuang HAM tidak adil karena belum berbuat sudah dikriminalisasi, padahal dampak sebenarnya without waiting until the casualty, jangan menunggu sampai terjadinya korban berdarah-darah, bom meledak, dan mati. Masyarakat yang mati, pelakunya bahkan yang mati, atau mungkin polisinya yang mati baru hukum bisa ditegakkan,” tegasnya.



Sementara itu, Direktur Hukum Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Fithriadi Muslim, mengatakan bahwa Pasal 622 ayat 1 Huruf BB KUHP Baru, menyatakan Pasal 4 Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) Dicabut dan Dinyatakan Tidak Berlaku. Hal ini berarti kriminalisasi perbuatan pendanaan terorisme sekarang mengacu ke Pasal 602 KUHP Baru.



Menurutnya, perihal pendanaan terorisme memang agak unik, karena yang menjadi bermasalah adalah penggunaan ataupun pemanfaatan dari dana tersebut. Ia mengatakan bahwa pendanaannya bisa dari aktivitas yang ilegal maupun aktivitas yang sah.



“Kalau di sisi uangnya memang tidak bermasalah, masalahnya karena tujuannya yang berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai kejahatan,” tuturnya.



Selanjutnya, membahas mengenai diversi dan deradikalisasi, Koordinator Tim Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Rahmat Sori Simbolon, mengungkapkan bahwa di tahun 2010 hingga 2015 terdapat sebanyak 24 pelaku dan narapidana terorisme yang merupakan anak-anak, 15 di antaranya sudah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan salah satunya yang melakukan residivisme; pengulangan tindak pidana terorisme.



Menurutnya, salah satu syarat untuk melakukan diversi yaitu maksimal ancaman tujuh tahun, telah membuat ruang gerak untuk melakukan diversi terhadap anak menjadi lebih sempit. Ia mengatakan bahwa menyidangkan perkara orang dewasa lebih mudah, karena rentang waktu dan kebebasan untuk melakukan penahanan lebih lebar dibandingkan dengan anak. Maka dari itu, sejauh pengetahuannya, hingga saat ini belum ada anak yang di diversi secara resmi.



Saat ini, Rahmat mengungkapkan bahwa deradikalisasi adalah program pembinaan yang ditawarkan kepada para narapidana terorisme untuk dapat diikuti. Namun yang jadi pertanyaannya, apakah nanti deradikalisasi akan disamakan atau menuju kepada rehabilitasi yang ada di Undang-Undang Narkotika, yang mana rehabilitasi merupakan putusan pengadilan.




“Deradikalisasi menjadi penting bahkan sel narapidana pun harus dipisahkan, jangan sampai ketika menempatkan orang di sini, kita malah nanti membuat dia bisa meradikalisasi orang lain. Kita kan menghindari itu, bagaimana supaya orang yang tidak radikal tidak terkontaminasi, bagaimana orang yang radikal menjadi tidak radikal, dan bagaimana orang radikal tidak punya kesempatan meradikalisasi orang lain. Ini adalah pekerjaan berat, ke depannya KUHP ini akan banyak kesempatan untuk bisa digunakan dalam hal deradikalisasi,” tegasnya.



Hadir sebagai penanggap, Deputi Direktur Bidang Program Indonesia Judicial Research Society, Adery Ardhan Saputro dan Senior Partner AdhyAksaraGautama, Garnadi Walanda, yang masing-masing memberikan tanggapannya mengenai TPPT di dalam KUHP Baru. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab oleh para peserta yang hadir secara luring dan daring kepada para narasumber.