Kepala BSKAP: Indonesia punya problem kesenjangan hasil belajar
12 Desember 2022 20:30 WIB
Ilustrasi - Wali murid memberikan materi pelajaran di SDN Pondok Cina 1, Depok, Jawa Barat, Jumat (18/11/2022). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/rwa.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan bahwa Indonesia memiliki masalah kesenjangan hasil belajar yang cukup tinggi terutama berdasarkan cakupan antar-wilayah, antar-sekolah di satu wilayah, dan antar-kelompok sosial ekonomi.
“Kita punya problem yang lebih besar (tentang kesenjangan hasil belajar) di kesetaraan antar-wilayah, antar-sekolah di satu wilayah, dan antar kelompok sosial ekonomi,” kata Anindito dalam webinar "Menimbang Kualitas Pendidikan Indonesia" yang digelar oleh Kementerian PPN/Bappenas, diikuti secara virtual di Jakarta pada Senin.
Hal tersebut didasarkan pada tilikan atas hasil Asesmen Nasional 2021. Sebagai informasi, Asesmen Nasional mengevaluasi sejumlah variabel salah satunya termasuk hasil belajar kognitif (literasi dan numerasi). Asesmen Nasional melibatkan sebanyak 7 juta murid, 3,9 juta pendidik, dan 285 ribu kepala satuan pendidikan pada jenjang dasar dan menengah.
Asesmen Nasional 2021 menunjukkan bahwa hanya satu dari dua murid yang mencapai kompetensi minimum literasi dan satu dari tiga murid untuk numerasi. Kemudian, capaian kompetensi minimum literasi atau pemahaman atas informasi tersurat maupun tersirat yang bersumber dari teks pada siswa SD/sederajat menunjukkan adanya kesenjangan kualitas hasil belajar yang masih tinggi berdasarkan antar-wilayah, terutama daerah yang berdekatan.
Baca juga: Kemendikbudristek: Penguatan PAUD mampu atasi kesenjangan pendidikan
Baca juga: Kemendikbudristek pecahkan tiga masalah pokok lewat RUU Sisdiknas
Anindito menambahkan bahwa ternyata kesenjangan literasi pada SD antar-kota atau antar-kabupaten memiliki tingkat yang sangat berbeda-beda. Kesenjangan literasi antara 10 persen SD dengan skor tertinggi dan 10 persen terendah mencapai 26-28 poin atau sekitar 2,32-2,5 kali simpangan baku.
Sebagai contoh, kesenjangan literasi pada SD di kabupaten P di pulau Jawa mencapai 26,84 poin. Namun, di pulau yang sama untuk kota B, misalnya, hanya mencapai 11,12 poin.
“Angka 26 poin itu besar atau kecil? Itu sangat sangat besar, itu sekitar 2,3-2,5 kali simpangan baku. Kalau simpangan baku itu, misalnya di PISA, 0,3 simpangan baku itu setara dengan satu tahun pembelajaran 12 bulan pembelajaran. Jadi kalau selisihnya itu dua kali simpangan baku, itu tujuh tahun pembelajaran,” kata dia.
Menurut Anindito, kesenjangan literasi di tiap-tiap kota kabupaten bukanlah suatu keniscayaan. Akan tetapi hak tersebut merupakan sesuatu yang bisa diintervensi melalui kebijakan.
“Jadi kesenjangan itu bisa kita perbaiki. Nyatanya ada kota dan kabupaten yang lebih setara lebih merata dibandingkan kota dan kabupaten lainnya,” ujar dia.
Sementara itu, apabila dilihat dari kelompok sosial-ekonomi, potretnya pun hampir mirip. Anindito mengatakan secara nasional terdapat selisih antara kelompok sosial ekonomi tinggi dan rendah sekitar 15 poin.
“Di tiap-tiap kota dan kabupaten, sekali lagi, bisa sangat berbeda. Di sebagian kota itu bisa dua kali simpangan baku, 25-an poin. Tapi di kota-kota lain hampir tidak ada kesenjangan antar-kelompok sosial ekonomi,” ujar dia.
Hal tersebut, kata Anindito, menunjukkan bahwa kesenjangan literasi masih sangat besar. Tetapi dia menekankan bahwa ada harapan untuk dapat menangani kesenjangan itu melalui penerapan kebijakan yang tepat.
Terakhir, ada pula kesenjangan literasi siswa SD berdasarkan antar-kelompok gender. Meski demikian, Anindito mengatakan bahwa kesenjangan yang terjadi tidak begitu besar jika dibandingkan dengan kesenjangan berdasarkan antar-wilayah, antar-sekolah di satu wilayah, dan antar-kelompok sosial ekonomi.*
Baca juga: Kemendikbudristek: Intervensi di Asesmen Nasional untuk umpan balik
Baca juga: Merdeka Belajar disebut tepat untuk perkecil kesenjangan pendidikan
“Kita punya problem yang lebih besar (tentang kesenjangan hasil belajar) di kesetaraan antar-wilayah, antar-sekolah di satu wilayah, dan antar kelompok sosial ekonomi,” kata Anindito dalam webinar "Menimbang Kualitas Pendidikan Indonesia" yang digelar oleh Kementerian PPN/Bappenas, diikuti secara virtual di Jakarta pada Senin.
Hal tersebut didasarkan pada tilikan atas hasil Asesmen Nasional 2021. Sebagai informasi, Asesmen Nasional mengevaluasi sejumlah variabel salah satunya termasuk hasil belajar kognitif (literasi dan numerasi). Asesmen Nasional melibatkan sebanyak 7 juta murid, 3,9 juta pendidik, dan 285 ribu kepala satuan pendidikan pada jenjang dasar dan menengah.
Asesmen Nasional 2021 menunjukkan bahwa hanya satu dari dua murid yang mencapai kompetensi minimum literasi dan satu dari tiga murid untuk numerasi. Kemudian, capaian kompetensi minimum literasi atau pemahaman atas informasi tersurat maupun tersirat yang bersumber dari teks pada siswa SD/sederajat menunjukkan adanya kesenjangan kualitas hasil belajar yang masih tinggi berdasarkan antar-wilayah, terutama daerah yang berdekatan.
Baca juga: Kemendikbudristek: Penguatan PAUD mampu atasi kesenjangan pendidikan
Baca juga: Kemendikbudristek pecahkan tiga masalah pokok lewat RUU Sisdiknas
Anindito menambahkan bahwa ternyata kesenjangan literasi pada SD antar-kota atau antar-kabupaten memiliki tingkat yang sangat berbeda-beda. Kesenjangan literasi antara 10 persen SD dengan skor tertinggi dan 10 persen terendah mencapai 26-28 poin atau sekitar 2,32-2,5 kali simpangan baku.
Sebagai contoh, kesenjangan literasi pada SD di kabupaten P di pulau Jawa mencapai 26,84 poin. Namun, di pulau yang sama untuk kota B, misalnya, hanya mencapai 11,12 poin.
“Angka 26 poin itu besar atau kecil? Itu sangat sangat besar, itu sekitar 2,3-2,5 kali simpangan baku. Kalau simpangan baku itu, misalnya di PISA, 0,3 simpangan baku itu setara dengan satu tahun pembelajaran 12 bulan pembelajaran. Jadi kalau selisihnya itu dua kali simpangan baku, itu tujuh tahun pembelajaran,” kata dia.
Menurut Anindito, kesenjangan literasi di tiap-tiap kota kabupaten bukanlah suatu keniscayaan. Akan tetapi hak tersebut merupakan sesuatu yang bisa diintervensi melalui kebijakan.
“Jadi kesenjangan itu bisa kita perbaiki. Nyatanya ada kota dan kabupaten yang lebih setara lebih merata dibandingkan kota dan kabupaten lainnya,” ujar dia.
Sementara itu, apabila dilihat dari kelompok sosial-ekonomi, potretnya pun hampir mirip. Anindito mengatakan secara nasional terdapat selisih antara kelompok sosial ekonomi tinggi dan rendah sekitar 15 poin.
“Di tiap-tiap kota dan kabupaten, sekali lagi, bisa sangat berbeda. Di sebagian kota itu bisa dua kali simpangan baku, 25-an poin. Tapi di kota-kota lain hampir tidak ada kesenjangan antar-kelompok sosial ekonomi,” ujar dia.
Hal tersebut, kata Anindito, menunjukkan bahwa kesenjangan literasi masih sangat besar. Tetapi dia menekankan bahwa ada harapan untuk dapat menangani kesenjangan itu melalui penerapan kebijakan yang tepat.
Terakhir, ada pula kesenjangan literasi siswa SD berdasarkan antar-kelompok gender. Meski demikian, Anindito mengatakan bahwa kesenjangan yang terjadi tidak begitu besar jika dibandingkan dengan kesenjangan berdasarkan antar-wilayah, antar-sekolah di satu wilayah, dan antar-kelompok sosial ekonomi.*
Baca juga: Kemendikbudristek: Intervensi di Asesmen Nasional untuk umpan balik
Baca juga: Merdeka Belajar disebut tepat untuk perkecil kesenjangan pendidikan
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022
Tags: