Puspeka: Cintai keragaman cegah kekerasan di lingkungan pendidikan
12 Desember 2022 18:38 WIB
Tangkapan layar - Analis pendampingan belajar di Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Widiyanti dalam webinar "Cintai Keragaman untuk Mewujudkan Lingkungan Belajar Inklusif", Senin (12/12/2022) di Jakarta, (FOTO ANTARA/Suci Nurhaliza)
Jakarta (ANTARA) - Analis pendampingan belajar di Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Widiyanti mengatakan, menanamkan cinta terhadap keberagaman dapat mencegah kekerasan di lingkungan pendidikan sehingga peserta didik dapat belajar dengan aman, nyaman, dan menyenangkan.
"Melalui cinta keberagaman, kita mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan agar peserta didik dapat belajar dengan aman, nyaman, dan menyenangkan sehingga potensinya dapat berkembang optimal," katanya dalam webinar "Cintai Keragaman untuk Mewujudkan Lingkungan Belajar Inklusif" yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Hal tersebut, menurut dia, selaras dengan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Adapun tindakan kekerasan yang dimaksud di dalamnya, kata dia, adalah perilaku yang dilakukan baik secara fisik, psikis, seksual, melalui media daring, atau bahkan melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka atau cedera, cacat, dan/atau kematian.
Ia menjelaskan, kekerasan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Namun, ada tiga jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di lingkungan pendidikan yang disebut dengan "Tiga Dosa Besar Pendidikan" yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.
Mencintai keberagaman, menurut Widi, dapat menjadi upaya untuk menghapuskan intoleransi, yaitu perbuatan fisik maupun non fisik yang membedakan, membatasi, mengecualikan, dan/atau memilih berdasarkan identitas semata.
"Misalnya, memilih atau tidak memilih anak itu karena etnisnya atau agamanya, ras, warna kulit, atau bahkan berdasarkan jenis kelaminnya," ujarnya.
Dalam membangun budaya mencintai keberagaman, katanya, pendidik memiliki peran yang sangat besar terutama untuk mengenalkan perbedaan kepada peserta didik.
"Peran pendidik tentunya sangat besar. Pendidik dapat melakukan inisiatif dengan membiasakan anak mengenali berbagai perbedaan di lingkungan sekolahnya. Pendidik juga perlu menanamkan bahwa setiap anak itu istimewa," katanya.
Adapun perbedaan-perbedaan yang dapat dikenalkan kepada peserta didik, menurut Widi, seperti perbedaan fisik meliputi bentuk tubuh, warna kulit, hingga bentuk rambut.
Kemudian perbedaan ketertarikan seperti hobi atau warna kesukaan, latar belakang keluarga dan sosial ekonomi, agama dan kepercayaan, suku, ras, bahasa, hingga perbedaan jenis kecerdasan, demikian Widiyanti.
Baca juga: Wakil Ketua MPR : pendidikan harus perhatikan keberagaman
Baca juga: KPAI ajak orang tua ajarkan anak menghargai orang lain
Baca juga: Dosen UNJ: Lingkungan belajar yang inklusif miliki banyak manfaat
Baca juga: Legislator ajak bangun dialog antara kelompok berbeda pandangan
"Melalui cinta keberagaman, kita mencegah terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan agar peserta didik dapat belajar dengan aman, nyaman, dan menyenangkan sehingga potensinya dapat berkembang optimal," katanya dalam webinar "Cintai Keragaman untuk Mewujudkan Lingkungan Belajar Inklusif" yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Hal tersebut, menurut dia, selaras dengan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Adapun tindakan kekerasan yang dimaksud di dalamnya, kata dia, adalah perilaku yang dilakukan baik secara fisik, psikis, seksual, melalui media daring, atau bahkan melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka atau cedera, cacat, dan/atau kematian.
Ia menjelaskan, kekerasan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Namun, ada tiga jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di lingkungan pendidikan yang disebut dengan "Tiga Dosa Besar Pendidikan" yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.
Mencintai keberagaman, menurut Widi, dapat menjadi upaya untuk menghapuskan intoleransi, yaitu perbuatan fisik maupun non fisik yang membedakan, membatasi, mengecualikan, dan/atau memilih berdasarkan identitas semata.
"Misalnya, memilih atau tidak memilih anak itu karena etnisnya atau agamanya, ras, warna kulit, atau bahkan berdasarkan jenis kelaminnya," ujarnya.
Dalam membangun budaya mencintai keberagaman, katanya, pendidik memiliki peran yang sangat besar terutama untuk mengenalkan perbedaan kepada peserta didik.
"Peran pendidik tentunya sangat besar. Pendidik dapat melakukan inisiatif dengan membiasakan anak mengenali berbagai perbedaan di lingkungan sekolahnya. Pendidik juga perlu menanamkan bahwa setiap anak itu istimewa," katanya.
Adapun perbedaan-perbedaan yang dapat dikenalkan kepada peserta didik, menurut Widi, seperti perbedaan fisik meliputi bentuk tubuh, warna kulit, hingga bentuk rambut.
Kemudian perbedaan ketertarikan seperti hobi atau warna kesukaan, latar belakang keluarga dan sosial ekonomi, agama dan kepercayaan, suku, ras, bahasa, hingga perbedaan jenis kecerdasan, demikian Widiyanti.
Baca juga: Wakil Ketua MPR : pendidikan harus perhatikan keberagaman
Baca juga: KPAI ajak orang tua ajarkan anak menghargai orang lain
Baca juga: Dosen UNJ: Lingkungan belajar yang inklusif miliki banyak manfaat
Baca juga: Legislator ajak bangun dialog antara kelompok berbeda pandangan
Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022
Tags: