Wamenkumham: Surat PBB terkait KUHP sangat terlambat
12 Desember 2022 15:44 WIB
Wakil Menteri Kementerian Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengelar konferensi pers bersama Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Senin (11/12/2022).(ANTARA/Asri Mayang Sari/aa.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Kementerian Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menilai surat pernyataan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia sangat terlambat.
Surat tersebut menawarkan bantuan, terutama terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan persoalan-persoalan hak asasi manusia (HAM), kata Edward.
"Surat itu kami terima pada tanggal 25 November dan tidak ke pemerintah melainkan ke Komisi III DPR. Jadi, ya, sangat terlambat", kata dia saat konferensi pers secara daring bersama Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Senin.
Akan tetapi, katanya, KUHP sudah mendapat persetujuan tingkat pertama pada 24 November, sementara surat PBB datang pada 25 November.
"Jelas (soal pasal) yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi tersebut, kami sudah mendapatkan masukan dari masyarakat," katanya.
Edward menambahkan bahwa supaya tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan pasal-pasal KUHP, pemerintah terus melakukan sosialisasi melalui dialog dan diskusi, terutama dengan aparat penegak hukum dan masyarakat untuk memastikan pasal-pasal tersebut tidak disalahgunakan dan ada standar parameter yang sama untuk menjembatani pasal-pasal tersebut.
Sementara itu, juru bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah mengatakan pihaknya pada Senin pagi telah memanggil perwakilan PBB untuk Indonesia di Jakarta terkait KUHP.
"Alasan (pemanggilan adalah) karena ini juga merupakan salah satu tata hubungan berdiplomasi. Ada baiknya adab yang berlaku adalah dalam tindak aksi perwakilan asing ataupun PBB di suatu negara, jalur komunikasi akan selalu ada untuk membahas berbagai isu. Jadi kita tidak menggunakan media masa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diverifikasi," katanya.
Menurut Teuku, sangatlah patut bagi perwakilan asing, termasuk PBB, untuk tidak secara terburu-buru mengeluarkan pendapat atau pernyataan sebelum mendapatkan satu informasi yang lebih jelas.
Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (6/12) menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disahkan menjadi undang-undang.
Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, akhirnya Indonesia memiliki KUHP yang merupakan hasil dari buah pemikiran anak bangsa.
Baca juga: Komisi III DPR tepis pasal 424 KUHP baru timbulkan masalah
Baca juga: Gubernur Bali pastikan KUHP baru justru jamin privasi wisatawan
Baca juga: KSP: Pengesahan RUU KUHP tonggak baru kemajuan Indonesia
Surat tersebut menawarkan bantuan, terutama terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan persoalan-persoalan hak asasi manusia (HAM), kata Edward.
"Surat itu kami terima pada tanggal 25 November dan tidak ke pemerintah melainkan ke Komisi III DPR. Jadi, ya, sangat terlambat", kata dia saat konferensi pers secara daring bersama Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Senin.
Akan tetapi, katanya, KUHP sudah mendapat persetujuan tingkat pertama pada 24 November, sementara surat PBB datang pada 25 November.
"Jelas (soal pasal) yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi tersebut, kami sudah mendapatkan masukan dari masyarakat," katanya.
Edward menambahkan bahwa supaya tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan pasal-pasal KUHP, pemerintah terus melakukan sosialisasi melalui dialog dan diskusi, terutama dengan aparat penegak hukum dan masyarakat untuk memastikan pasal-pasal tersebut tidak disalahgunakan dan ada standar parameter yang sama untuk menjembatani pasal-pasal tersebut.
Sementara itu, juru bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah mengatakan pihaknya pada Senin pagi telah memanggil perwakilan PBB untuk Indonesia di Jakarta terkait KUHP.
"Alasan (pemanggilan adalah) karena ini juga merupakan salah satu tata hubungan berdiplomasi. Ada baiknya adab yang berlaku adalah dalam tindak aksi perwakilan asing ataupun PBB di suatu negara, jalur komunikasi akan selalu ada untuk membahas berbagai isu. Jadi kita tidak menggunakan media masa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diverifikasi," katanya.
Menurut Teuku, sangatlah patut bagi perwakilan asing, termasuk PBB, untuk tidak secara terburu-buru mengeluarkan pendapat atau pernyataan sebelum mendapatkan satu informasi yang lebih jelas.
Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (6/12) menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disahkan menjadi undang-undang.
Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, akhirnya Indonesia memiliki KUHP yang merupakan hasil dari buah pemikiran anak bangsa.
Baca juga: Komisi III DPR tepis pasal 424 KUHP baru timbulkan masalah
Baca juga: Gubernur Bali pastikan KUHP baru justru jamin privasi wisatawan
Baca juga: KSP: Pengesahan RUU KUHP tonggak baru kemajuan Indonesia
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022
Tags: