Jakarta (ANTARA) - Pakar sejarah sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso menegaskan bahwa warisan budaya takbenda (WBTb) tidak bersifat eksklusif atau hanya dimiliki komunitas tertentu saja.

Mengingat hal tersebut, dia mengatakan bahwa domain WBTb yang diusulkan ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco) sebaiknya bersifat inklusif ketimbang eksklusif.

“Akan lebih baik misalnya itu diajukan sebagai usulan bersama yang justru akan menjaga ataupun menjamin kelestarian dan pengembangan dari produk budaya intangible,” kata Bondan dalam “Bincang Santai WBTb Indonesia Menuju ICH” yang diikuti secara virtual di Jakarta, Kamis.

Dia mencontohkan, apabila budaya angklung dianggap milik eksklusif Indonesia, maka komunitas atau bangsa lain mungkin akan merasa tidak terhubung dengan budaya tersebut sehingga terkendala untuk bisa mengembangkannya.

“Tidak bisa diperlakukan seperti itu karena intangible itu berbeda. Bahwa justru ketika dia (WBTb) dipraktikkan oleh berbagai kelompok masyarakat, maka dia akan semakin memiliki kekuatan untuk terus dilestarikan dan bahkan dikembangkan,” ujar dia.

Baca juga: Kemdikbudristek soroti pentingnya data warisan budaya tak benda daerah
Baca juga: 119 karya budaya Jawa Tengah jadi warisan budaya tak benda nasional

Bondan menjelaskan bahwa WBTb merupakan warisan hidup yang luas yang mengalami proses transmisi tanpa akhir. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan suatu WBTb dapat mengalami berbagai macam modifikasi melalui proses rekreasi kolektif serta berkembang untuk beradaptasi dengan lingkungan.

“Ini berarti bahwa warisan akan diciptakan kembali oleh komunitas budaya seiring perubahan komunitas dari waktu ke waktu sebagai respon terhadap lingkungan. Itulah kenapa WBTb ini bisa menyebar ke berbagai komunitas karena dia memang karakteristiknya sangat dinamis,” kata Bondan.

Sementara itu, Wakil Delegasi Tetap RI untuk Unesco Ismunandar menjelaskan terdapat dua mekanisme dalam pengajuan suatu budaya menjadi WBTb yang ditetapkan oleh Unesco, yaitu single nomination atau pengajuan satu WBTb dari satu negara dan joint nomination atau pengajuan WBTb dari beberapa negara atau multinasional.

Ismunandar menegaskan ketika suatu budaya diajukan atau ditetapkan di Unesco melalui mekanisme single nomination, hal tersebut juga bukan berarti WBTb tersebut menjadi eksklusif milik satu negara saja. Apabila ternyata budaya tersebut hidup di negara lain, maka mereka dapat ikut memperluas atau menambahkan (extension).

“Walaupun dinominasikan tunggal, itu bukan berarti terus eksklusif punya kita, tidak juga. Kalau negara lain ada yang kemudian merasa punya budaya itu, bahwa dia itu hidup di wilayahnya, bisa tinggal extend saja,” ujar dia.

Baca juga: Sebanyak 17 karya budaya Aceh jadi warisan budaya tak benda Indonesia
Baca juga: Kain tenun Donggala diajukan sebagai warisan budaya tak benda UNESCO

Sementara itu, suatu budaya juga dapat diajukan sebagai WBTb Unesco melalui mekanisme joint nomination. Mekanisme ini, menurut Ismunandar, setidaknya dapat mempercepat jumlah keterwakilan negara di Unesco dengan mendaftarkan WBTb secara bersama-sama dengan sejumlah negara.

“Kalau menunggu (mekanisme) sendirian atau single terus-terusan, ya, akan sedikitlah keterwakilan kita di sana. Tapi kalau kita manfaatkan karena semangatnya ini bukan eksklusif, ya, semangatnya itu kita punya budaya yang ada komunalitas dengan serumpun dan negara lain,” kata dia.

Oleh sebab itu, Ismunandar memandang perlunya strategi bersama atau peta jalan bagi Indonesia untuk memutuskan mana saja budaya yang akan diusulkan sebagai single nomination dan mana yang joint nomination. Dengan begitu, diharapkan keterwakilan Indonesia di Unesco melalui WBTb dapat terlaksana lebih cepat.

Baca juga: Pelukis Thangka promosikan warisan tak benda di Tibet
Baca juga: Reog Ponorogo menuju Warisan Budaya Tak Benda UNESCO 2023