Kirgizstan tertarik pelajari penanganan terorisme di Indonesia
7 Desember 2022 20:07 WIB
Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko (kiri) menerima 11 delegasi pejabat tinggi Republik Kirgizstan dan perwakilan Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC) di Gedung Bina Graha, Jakarta, pada Rabu (7/12). (ANTARA/HO-Kantor Staf Presiden)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko bertemu dengan 11 delegasi pejabat tinggi Republik Kirgizstan dan perwakilan Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC) yang tertarik mempelajari penanganan tindak pidana terorisme dan kekerasan ekstremis di Indonesia.
Menteri Kehakiman Kirgizstan, Aiaz Baetov dalam siaran pers Kantor Staf Presiden (KSP) yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tidak hanya membahas tentang hukuman pidana bagi pelaku tindak kekerasan ekstremis dan terorisme, tapi memiliki mekanisme pencegahan dan rehabilitasi. Karena itu, sistem pengawasan dan penerapan penahanan bagi pelaku terorisme dan kekerasan ekstremis di Indonesia patut dijadikan percontohan.
“Kami sangat tertarik untuk mempelajari pelibatan instansi-instansi, seperti organisasi masyarakat, akademisi, dan tokoh keagamaan dalam penanganan tindak pidana kekerasan ekstremis dan terorisme di Indonesia. Pengalaman Indonesia adalah pembelajaran yang unik bagi Kirgizstan. Oleh karenanya, kali ini Kirgizstan datang ke Indonesia dengan delegasi yang besar,” kata Aiaz.
Moeldoko mengatakan tindak pidana terorisme yang diposisikan sebagai kejahatan luar biasa merupakan ancaman terhadap hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mengadopsi pendekatan whole of government atau penyelenggaraan pemerintahan kolaboratif untuk melawan terorisme, yakni melalui pendidikan di tingkat hulu sampai penindakan di tingkat hilir.
Baca juga: Moeldoko ingatkan bahaya radikalisme di Indonesia
Baca juga: Moeldoko: Bom bunuh diri di Astanaanyar cederai nilai kemanusiaan
Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, kata Moeldoko, pemerintah terus memperkuat pemberantasan tindak pidana terorisme, perluasan sanksi pidana untuk modus baru, seperti misalnya foreign terrorist fighter (FTF), penguatan kelembagaan, dan perlindungan korban. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
“Di samping berfokus pada penanganan, negara hadir untuk para korban tindak pidana terorisme. Hal ini, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak memperoleh kompensasi. Kehadiran negara diharapkan dapat membawa semangat baru, optimisme bagi para korban, dan keluarganya untuk melanjutkan hidup di masa yang akan datang,” kata Moeldoko.
Dia mengatakan upaya Indonesia terbukti telah membuahkan hasil. Kajian dari lembaga penelitian independen LAB 45 pada 2021, kata Moeldoko, menunjukkan adanya penurunan tren serangan teror di Indonesia. Nilai agregat Indonesia pada Global Terrorism Index telah menurun dari angka 6,55 pada 2002 ke 5,5 pada tahun 2021.
“Sebagai negara dengan keanekaragaman suku, budaya, dan agama, maka Pemerintah Indonesia terus mendorong penguatan toleransi dan moderasi beragama dalam masyarakat sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo,” kata dia.
Indonesia dan Kirgizstan membuka hubungan diplomatik pada 1993 dan sejak itu hubungan bilateral kedua negara terus berkembang. Selain mengapresiasi negara di kawasan Asia Tengah itu, Moeldoko berharap agar hubungan bilateral kedua negara terus diperkuat dengan studi banding di berbagai bidang.
Menteri Kehakiman Kirgizstan, Aiaz Baetov dalam siaran pers Kantor Staf Presiden (KSP) yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tidak hanya membahas tentang hukuman pidana bagi pelaku tindak kekerasan ekstremis dan terorisme, tapi memiliki mekanisme pencegahan dan rehabilitasi. Karena itu, sistem pengawasan dan penerapan penahanan bagi pelaku terorisme dan kekerasan ekstremis di Indonesia patut dijadikan percontohan.
“Kami sangat tertarik untuk mempelajari pelibatan instansi-instansi, seperti organisasi masyarakat, akademisi, dan tokoh keagamaan dalam penanganan tindak pidana kekerasan ekstremis dan terorisme di Indonesia. Pengalaman Indonesia adalah pembelajaran yang unik bagi Kirgizstan. Oleh karenanya, kali ini Kirgizstan datang ke Indonesia dengan delegasi yang besar,” kata Aiaz.
Moeldoko mengatakan tindak pidana terorisme yang diposisikan sebagai kejahatan luar biasa merupakan ancaman terhadap hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mengadopsi pendekatan whole of government atau penyelenggaraan pemerintahan kolaboratif untuk melawan terorisme, yakni melalui pendidikan di tingkat hulu sampai penindakan di tingkat hilir.
Baca juga: Moeldoko ingatkan bahaya radikalisme di Indonesia
Baca juga: Moeldoko: Bom bunuh diri di Astanaanyar cederai nilai kemanusiaan
Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, kata Moeldoko, pemerintah terus memperkuat pemberantasan tindak pidana terorisme, perluasan sanksi pidana untuk modus baru, seperti misalnya foreign terrorist fighter (FTF), penguatan kelembagaan, dan perlindungan korban. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
“Di samping berfokus pada penanganan, negara hadir untuk para korban tindak pidana terorisme. Hal ini, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak memperoleh kompensasi. Kehadiran negara diharapkan dapat membawa semangat baru, optimisme bagi para korban, dan keluarganya untuk melanjutkan hidup di masa yang akan datang,” kata Moeldoko.
Dia mengatakan upaya Indonesia terbukti telah membuahkan hasil. Kajian dari lembaga penelitian independen LAB 45 pada 2021, kata Moeldoko, menunjukkan adanya penurunan tren serangan teror di Indonesia. Nilai agregat Indonesia pada Global Terrorism Index telah menurun dari angka 6,55 pada 2002 ke 5,5 pada tahun 2021.
“Sebagai negara dengan keanekaragaman suku, budaya, dan agama, maka Pemerintah Indonesia terus mendorong penguatan toleransi dan moderasi beragama dalam masyarakat sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo,” kata dia.
Indonesia dan Kirgizstan membuka hubungan diplomatik pada 1993 dan sejak itu hubungan bilateral kedua negara terus berkembang. Selain mengapresiasi negara di kawasan Asia Tengah itu, Moeldoko berharap agar hubungan bilateral kedua negara terus diperkuat dengan studi banding di berbagai bidang.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: