"Jangka pendek tentu peningkatan keamanan harus dinaikkan. Tingkat kewaspadaan harus dinaikkan," kata Bambang kepada awak media di Jakarta, Rabu petang.
Menurut ia, fakta bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar hari ini menjadi bahan renungan bersama yang harus dimaknai pula dengan meningkatkan kesiagaan.
Ia menambahkan tugas peningkatan keamanan dan kesiagaan tersebut tidak hanya diemban oleh institusi Polri, melainkan pula Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) hingga polisi intelijen.
Di samping itu, Bambang menilai program deradikalisasi juga perlu dicek ulang dan ditingkatkan mengingat pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar merupakan mantan narapidana terorisme.
Bambang pun menepis aksi bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar merupakan sebuah insiden kecolongan. Sebaliknya, ia menilai keberadaan Internal Security Act (ISA) atau Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri menjadi diperlukan untuk mengantisipasi tindak terorisme, sebagaimana yang dimiliki negara lain.
"Kita enggak ngomong itu kecolongan, bahasa kita adalah secara nasional kita itu belum mempunyai internal security system, sistem itu ini bagaimana kita mengamankan bangsa ini secara internal," ujarnya.
Untuk itu, Bambang pun berpandangan bahwa pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar, Bandung, sejatinya merupakan korban dari sebuah ideologi.
"Ini situasi ada orang bunuh diri masuk ke kantor polisi, ini fakta. Asumsinya ini orang berani mati, apa yang menyebabkan orang berani mati? Pasti sebuah keyakinan mengikhlaskan diri karena yakin akan ada sesuatu," katanya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengatakan Agus Sujatno alias Agus Muslim, pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar Bandung, Jawa Barat, berstatus "masih merah" dalam program deradikalisasi.
"Yang bersangkutan ini sebelumnya ditahan di LP Nusakambangan. Jadi, artinya dalam tanda kutip masuk kelompok 'masih merah'. Proses deradikalisasi membutuhkan teknik dan taktik berbeda," kata Kapolri dalam jumpa pers di Kota Bandung, Rabu.