Para orang tua diimbau waspadai ketergantungan gawai pada anak
7 Desember 2022 16:27 WIB
Arsip foto - Dua bocah bermain gawai di Jakarta, Jumat (16/4/2021). Dokter spesialis saraf anak dari Departemen Neurologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Yetty Ramli mengatakan penggunaan gawai sebagai sarana untuk mengakses teknologi terbukti memberikan dampak buruk pada anak karena bisa mengganggu kemampuan kognitif anak, yang meliputi daya ingat, bahasa, daya tangkap, serta kemampuan motorik dan sensorik. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww
Jakarta (ANTARA) - Juru bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Ariandi Putra mengimbau para orang tua untuk mewaspadai ketergantungan gawai pada anak saat usia pertumbuhan.
Ariandi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, menyebut perilaku kecanduan gawai sebagai screen dependency disorder (SDD) atau disebut gangguan ketergantungan terhadap layer gadget (gawai)
Ia mengungkap sebuah penelitian terbaru yang menemukan sekitar 30 persen anak di bawah usia enam bulan sudah mengalami paparan gawai secara rutin dengan rata-rata waktu 60 menit per hari.
"Pada usia dua tahun, sembilan dari sepuluh anak mendapat paparan gawai yang lebih tinggi dan berpotensi membuat mereka mengalami SDD," ungkapnya.
Bahkan, tambah Ariandi, potensi gawai merusak otak anak bisa lebih tinggi jika anak terkena paparan gawai sejak dini.
Selain tanda-tanda anak mengalami SDD, gawai juga dapat menjadi potensi utama merusak otak anak dan mengganggu proses tumbuh kembang anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat data yang menggambarkan besarnya dampak anak yang terlalu sering menggunakan gawai.
Selain itu, lanjut Ariandi, anak juga akan mengalami kurang tidur sehingga kemampuan untuk fokus sangat rendah. Anak pun cenderung tidur pada siang hari dan terjaga saat malam hari karena setiap penggunaan gawai selama 15 menit dapat mengurangi waktu tidur anak sekitar 60 menit.
"Hal yang menyenangkan belum tentu baik untuk anak ke depannya. Selalu ingat bahaya dan betapa ruginya anak jika ketergantungan (gawai)," pesannya.
Dampak lain yang mengkhawatirkan adalah terjadinya speech delay (terlambat berbicara) pada anak, mengalami masalah dalam tumbuh kembang fisik anak, seperti berat badan turun atau justru naik dengan drastis, sakit kepala, kurang gizi, dan insomnia.
Selain itu, dapat pula menimbulkan masalah penglihatan dan masalah tumbuh kembang anak, seperti kecemasan, perasaan kesepian, rasa bersalah, isolasi diri, dan perubahan mood yang drastis.
"Jangan biarkan ini terus dilanjutkan karena akan merugikan orang tua dan anak, bahkan orang-orang di sekitar. Masa depan anak menjadi bergantung pada keputusan orang tua saat ini," katanya menegaskan.
Ariandi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, menyebut perilaku kecanduan gawai sebagai screen dependency disorder (SDD) atau disebut gangguan ketergantungan terhadap layer gadget (gawai)
Ia mengungkap sebuah penelitian terbaru yang menemukan sekitar 30 persen anak di bawah usia enam bulan sudah mengalami paparan gawai secara rutin dengan rata-rata waktu 60 menit per hari.
"Pada usia dua tahun, sembilan dari sepuluh anak mendapat paparan gawai yang lebih tinggi dan berpotensi membuat mereka mengalami SDD," ungkapnya.
Bahkan, tambah Ariandi, potensi gawai merusak otak anak bisa lebih tinggi jika anak terkena paparan gawai sejak dini.
Selain tanda-tanda anak mengalami SDD, gawai juga dapat menjadi potensi utama merusak otak anak dan mengganggu proses tumbuh kembang anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat data yang menggambarkan besarnya dampak anak yang terlalu sering menggunakan gawai.
Selain itu, lanjut Ariandi, anak juga akan mengalami kurang tidur sehingga kemampuan untuk fokus sangat rendah. Anak pun cenderung tidur pada siang hari dan terjaga saat malam hari karena setiap penggunaan gawai selama 15 menit dapat mengurangi waktu tidur anak sekitar 60 menit.
"Hal yang menyenangkan belum tentu baik untuk anak ke depannya. Selalu ingat bahaya dan betapa ruginya anak jika ketergantungan (gawai)," pesannya.
Dampak lain yang mengkhawatirkan adalah terjadinya speech delay (terlambat berbicara) pada anak, mengalami masalah dalam tumbuh kembang fisik anak, seperti berat badan turun atau justru naik dengan drastis, sakit kepala, kurang gizi, dan insomnia.
Selain itu, dapat pula menimbulkan masalah penglihatan dan masalah tumbuh kembang anak, seperti kecemasan, perasaan kesepian, rasa bersalah, isolasi diri, dan perubahan mood yang drastis.
"Jangan biarkan ini terus dilanjutkan karena akan merugikan orang tua dan anak, bahkan orang-orang di sekitar. Masa depan anak menjadi bergantung pada keputusan orang tua saat ini," katanya menegaskan.
Pewarta: Fauzi
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: