Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan komunikasi perubahan perilaku secara strategis masih menjadi kendala Indonesia dalam menghadapi permasalahan stunting yang cukup kompleks.

“Komunikasi perubahan perilaku itu penting untuk pencegahan stunting di Indonesia. Karena dari hasil survei di beberapa tempat, ada ibu hamil yang tidak mengerti minum tablet tambah darah (TTD),” kata Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes Widyawati dalam Forum Nasional Stunting di Jakarta, Selasa.

Widyawati menuturkan masalah perilaku dan praktik terkait stunting terjadi dalam tiga tingkatan. Pertama dalam tingkat individu dan antarpribadi, dari enam masalah yang ditemukan Kemenkes hal yang paling menjadi masalah adalah adanya ibu hamil yang tidak memahami pentingnya TTD.

Ada pula ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan terdekat setidaknya enam kali dan tidak mendapatkan asupan gizi yang seimbang.

Pada tingkat ini, ditemukan juga pengetahuan wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil terkait stunting yang masih rendah. Hal tersebut terkait dengan akses informasi kesehatan di beberapa daerah yang masih terbatas.

Di tingkat masyarakat, para kader di fasilitas kesehatan sendiri terkadang juga belum memahami betul cara untuk mengidentifikasi anak stunting yang benar dan mengedukasikan pencegahan stunting yang baik pada keluarga.

“Kadang-kadang petugas mungkin karena harus melayani banyak keluarga atau bagaimana, itu dia catat-catat saja. Padahal sebenarnya komunikasi itu bagaimana menyampaikan informasi dengan hati-hati dan empati supaya masyarakat akhirnya dapat mendisiplinkan dirinya sendiri,” ucapnya.

Para kader memiliki peran yang besar sebagai garda terdepan guna mengubah pola pikir masyarakat untuk mengkonsumsi TTD ataupun memeriksakan kehamilannya, sehingga dapat menjadi budaya yang baik bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa depan.

Di tingkat institusi layanan masyarakat, kendala utama dalam membangun komunikasi strategis adalah pada tingkat kebijakan pemerintah belum memprioritaskan penyediaan jamban yang sehat.

Hal tersebut diikuti dengan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang DAMIU dan banyaknya DAMIU yang belum terstandarisasi, serta kurangnya ketersediaan pangan.

Sebagai bentuk peningkatan pengetahuan itulah, ia mengatakan Kemenkes terus mengkampanyekan secara nasional terkait perubahan perilaku yang dilakukan melalui lima gerakan pencegahan stunting serta peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan kader melalui orientasi KAP.

Pada lima gerakan pencegahan stunting, ia mengatakan hal tersebut dimulai dari Aksi Bergizi yang digelar di setiap sekolah untuk memberikan TTD pada remaja putri di sekolah terutama yang duduk di kelas 7 dan 10.

Kemudian dilanjutkan dengan program Bumil Sehat guna meningkatkan pemeriksaan dan pengetahuannya sebagai upaya meningkatkan kesehatan ibu hamil. Pada program ketiga bernama Posyandu aktif, Kemenkes meningkatkan cakupan tumbuh kembang posyandu demi deteksi dini dalam mencegah balita kurang gizi atau stunting.

Program keempatnya adalah Jambore Kader guna meningkatkan kapabilitas kader dalam memberikan pelayanan. Dari keempat program nantinya akan menuju pada program Cegah Stunting itu Penting.

“Jadi nantinya sesuai dengan target dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, 70 persen sasaran terutama di 12 provinsi prioritas dapat memiliki pemahaman yang baik tentang stunting. Apa itu stunting, dampaknya, penyebabnya dan bagaimana pencegahannya,” kata dia.

Baca juga: Wamenkes: 12 provinsi butuh akselerasi dalam menurunkan kasus stunting

Baca juga: BKKBN: Indeks Pembangunan Manusia RI duduki peringkat 130 dunia