Singapura (ANTARA) - Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Gilbert F Houngbo mendorong negara-negara anggota untuk memastikan perlindungan sosial bagi pekerja platform digital (platform workers).

“Kita tahu bahwa pekerja platform tidak memiliki perlindungan, karena kurangnya hubungan kerja.. jadi ada masalah serius di mana posisi ILO adalah untuk mengadvokasi pemerintah, serikat pekerja, dan organisasi pengusaha untuk duduk bersama dan membahas isu ini,” kata Gilbert dalam konferensi pers menjelang Pertemuan Regional ILO Asia Pasifik di Singapura, Selasa.

Menurut Gilbert, perlindungan bagi pekerja digital sangat lemah karena mereka rentan kehilangan pekerjaan, jam kerja tidak menentu, penghasilan yang tidak terprediksi, kesenjangan upah berbasis gender, dan tidak memiliki asuransi kesehatan serta perlindungan hukum.

Karena itu, kata dia, ILO berupaya mendorong adanya sebuah instrumen perlindungan yang bisa diterapkan secara internasional yang dapat membantu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi para pekerja platform, sekaligus mempromosikan sisi positif dari ekonomi berbasis platform digital itu sendiri.

“Itulah sebabnya saya selalu berbicara tentang perlindungan sosial universal yang kami anjurkan agar setiap negara bisa menawarkan kepada warganya dalam jumlah paket sosial minimum, yang menurut saya harus mencakup asuransi pengangguran, dan juga mendefinisikan ulang hubungan kerja, khususnya untuk ekonomi berbasis platform,” tutur Gilbert.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa tumbuhnya platform digital dinilai sangat menarik dan merupakan bagian dari arah ekonomi baru yang semakin didorong oleh sektor jasa dan teknologi.

“Dan kita perlu mendorong bahwa itu memberikan fleksibilitas kepada pekerja dan bahkan mungkin keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik. Ada banyak hal positif dari platform digital dan berkontribusi besar untuk pertumbuhan ekonomi,” tutur Gilbert.

Di Indonesia, kontribusi ekonomi digital diproyeksikan bisa tumbuh hingga 18 persen pada 2030, dibandingkan 4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2020.

Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia lebih unggul dalam hal pertumbuhan ekonomi digitalnya. Hal itu terlihat pada 2020 ketika nilai ekonomi digital Indonesia mencapai 44 miliar dolar AS (sekitar Rp685,4 triliun) menurut data Kementerian Perdagangan.

Sedangkan Malaysia hanya 11,4 miliar dolar AS, Filipina 7,5 miliar dolar AS, Singapura 9 miliar dolar AS, dan Vietnam 14 miliar dolar AS.

Namun, baru-baru ini sektor digital yang dianggap sangat potensial bagi Indonesia, juga tidak luput dari dampak berkepanjangan pandemi COVID-19.

Beberapa perusahaan platform digital seperti GoTo dan Ruangguru melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal terhadap ribuan pekerjanya sebagai upaya menutup kerugian di tengah memburuknya situasi pasar global.

Baca juga: ILO catat "penurunan mencolok" dalam upah riil di seluruh dunia
Baca juga: ILO: Pasar tenaga kerja di Asia Pasifik mulai pulih dari pandemi