Singapura (ANTARA) - Dolar melemah di sesi Asia pada Senin sore, karena para pedagang menumpuk aset berisiko setelah lebih banyak kota di China melonggarkan beberapa pembatasan terkait COVID mereka, memicu harapan pembukaan kembali ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Pusat keuangan Shanghai dan Urumqi di ujung barat adalah di antara kota-kota yang mengumumkan pelonggaran pembatasan virus corona selama akhir pekan, menyusul protes baru-baru ini yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap strategi "dinamis nol-COVID" tanpa kompromi dari pemerintah.

"Ini mungkin tampak seperti langkah kecil tetapi tetap merupakan tanda yang cukup kuat dari China mengambil langkah-langkah yang dikalibrasi ke arah pembukaan kembali," kata Christopher Wong, ahli strategi mata uang di OCBC di Singapura.

China akan segera mengumumkan pelonggaran persyaratan pengujian secara nasional serta mengizinkan kasus positif dan kontak dekat untuk diisolasi di rumah dalam kondisi tertentu, kata orang yang mengetahui masalah tersebut kepada Reuters pekan lalu.

Dolar melemah di bawah 7,0 yuan dalam perdagangan luar negeri, sementara yuan dalam negeri melonjak sekitar 1,4 persen hingga setinggi 6,9507 pada Senin pagi, terkuat sejak 13 September.

Indeks dolar, yang mengukur mata uang terhadap enam mata uang utama lainnya termasuk yen dan euro, turun 0,268 persen pada 104,19, terendah sejak 28 Juni.

Indeks dolar jatuh 1,4 persen minggu lalu dan 5,0 persen pada November, membuat bulan terburuk sejak 2010. Kelesuan terhadap dolar baru-baru inis ebagian besar berasal dari ekspektasi bahwa Federal Reserve akan menurunkan laju kenaikan suku bunga setelah empat kali berturut-turut meningkat 75 basis poin.

Fokus investor akan tertuju pada data inflasi harga konsumen AS yang akan dirilis pada 13 Desember, satu hari sebelum The Fed mengakhiri pertemuan kebijakan dua harinya.

Bank sentral AS diperkirakan akan menaikkan suku bunga kebijakan dengan tambahan 50 basis poin pada pertemuan tersebut. Pedagang berjangka dana Fed sekarang memperkirakan suku bunga acuan Fed mencapai puncaknya di 4,92 persen pada Mei.

Wong dari OCBC mengatakan beberapa tingkat kehati-hatian masih diperlukan karena Fed belum selesai melakukan pengetatan. "Mereka masih mengencangkan, hanya saja itu akan dilakukan dalam langkah-langkah kecil."

Sementara itu, yen Jepang melemah 0,20 persen versus greenback menjadi 134,59 per dolar, setelah naik 3,5 persen minggu lalu, jauh dari level terendah Oktober di 151,94.

Pendakian yen terjadi pada saat sorotan tertuju pada kelemahan kebijakan pelonggaran moneter yang berkepanjangan dan menjelang transisi kepemimpinan bank sentral Jepang (BOJ) ketika gubernur Haruhiko Kuroda, yang dianggap sebagai dovish, mengakhiri masa jabatan keduanya.

BOJ akan melakukan tinjauan terhadap kerangka kebijakan moneter dan mengurangi program stimulus besar-besaran tergantung pada hasilnya, anggota dewan Naoki Tamura mengatakan kepada harian Asahi.

"Anda memiliki kasus tidak hanya Fed yang memperlambat laju pengetatan kebijakan tetapi Anda juga memiliki kasus potensi pelonggaran BOJ, mungkin tahap yang sangat awal, beberapa dari kebijakannya yang sangat akomodatif," kata Wong.

"Dua kekuatan yang datang dari kedua belah pihak dapat memberikan dolar/yen sedikit penurunan ... masih ada ruang untuk dolar/yen untuk menguji lebih rendah."

Euro naik 0,32 persen menjadi 1,0572 dolar, setelah naik 1,3 persen minggu lalu. Euro, sebelumnya menyentuh level tertinggi lebih dari lima bulan di 1,05835 dolar.

Sterling naik menjadi 1,23450 dolar, tertinggi sejak 17 Juni, dan terakhir diperdagangan di 1,2327 dolar, naik 0,33 persen hari ini.

Dolar Australia naik 0,59 persen menjadi 0,683 dolar AS, sedangkan kiwi naik 0,31 persen menjadi 0,643 dolar.

Baca juga: OPEC+ pertahankan target produksi minyak di tengah ketidakpastian
Baca juga: G7 mulai tekan Rusia dengan menerapkan batas harga minyak
Baca juga: Emas jatuh 5,60 dolar, data pekerjaan AS lebih kuat dari perkiraan