Pengamat: Putusan MK penting bagi kepastian arah pemberantasan korupsi
3 Desember 2022 13:52 WIB
Hasil tangkapan layar Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti dalam diskusi yang diselenggarakan PARA Syndicate di Jakarta, Rabu (3/8/2022) (ANTARA/Melalusa Susthira K.)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penundaan hak politik mantan narapidana kasus korupsi menjadi putusan penting bagi arah pemberantasan korupsi yang lebih pasti.
"Putusan penting untuk memastikan arah dan tuntutan pemberantasan korupsi lebih pasti," kata Ray dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia menyebut Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 menjadi salah satu keputusan yang paling ditunggu-tunggu publik sehingga patut diapresiasi. "Putusan ini memenuhi apa yang menjadi tuntutan masyarakat setidaknya selama 10 tahun terakhir," ucapnya.
Berkaitan dengan putusan tersebut, ia menyebut alasan hak politik mantan napi koruptor itu ditunda karena korupsi merupakan dua kejahatan sekaligus, yakni pidana dan politik.
"Pidana karena mengambil sesuatu yang bukan haknya. Politik, adanya penyimpangan (penghianatan) atas amanah publik berupa korupsi dengan kekuasaan yang diembannya," katanya.
Menurut dia, selama ini pendekatan sanksi terhadap koruptor lebih bersifat pidana umum, di mana begitu diberikan hukuman penjara maka dilihat seluruh sanksi telah selesai diberikan.
"Akibatnya, alih-alih tindak pidana korupsi berkurang, sebaliknya bertambah subur dengan pelaku-pelaku baru dalam usia yang masih muda. Kenyataannya, penjara tidak menghentikan mereka," ujarnya.
Baca juga: KPU pelajari putusan MK soal syarat mantan napi jadi calon legislatif
Baca juga: ICW apresiasi putusan MK terkait larangan bekas narapidana jadi caleg
Untuk itu, ujarnya, koruptor yang sudah dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi harus diberikan sanksi berat di mana tidak hanya berupa pemberian sanksi pidana melainkan sanksi administratif.
Ia menilai sanksi politis dan ekonomis akan lebih efektif membuat pejabat publik jera melakukan korupsi, yakni dengan cara memiskinkan serta menunda hak politik untuk terlibat dalam aktivitas pemilu setidaknya dalam satu pelaksanaan pemilu sebagaimana putusan MK terbaru.
Ia berharap putusan MK tersebut ditindaklanjuti pemerintah untuk segera mengajukan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu.
"Meski akan ada sedikit perdebatan soal cara menghitung lima tahun yang dimaksud, di sini peran moral KPU diharapkan memperkuat putusan ini," katanya.
Sebelumnya pada Rabu (30/11), MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan oleh karyawan swasta Leonardo Siahaan.
Permohonan yang dikabulkan tersebut terkait dengan larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi atau koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama lima tahun sejak ia dibebaskan atau keluar dari penjara.
"Putusan penting untuk memastikan arah dan tuntutan pemberantasan korupsi lebih pasti," kata Ray dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia menyebut Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 menjadi salah satu keputusan yang paling ditunggu-tunggu publik sehingga patut diapresiasi. "Putusan ini memenuhi apa yang menjadi tuntutan masyarakat setidaknya selama 10 tahun terakhir," ucapnya.
Berkaitan dengan putusan tersebut, ia menyebut alasan hak politik mantan napi koruptor itu ditunda karena korupsi merupakan dua kejahatan sekaligus, yakni pidana dan politik.
"Pidana karena mengambil sesuatu yang bukan haknya. Politik, adanya penyimpangan (penghianatan) atas amanah publik berupa korupsi dengan kekuasaan yang diembannya," katanya.
Menurut dia, selama ini pendekatan sanksi terhadap koruptor lebih bersifat pidana umum, di mana begitu diberikan hukuman penjara maka dilihat seluruh sanksi telah selesai diberikan.
"Akibatnya, alih-alih tindak pidana korupsi berkurang, sebaliknya bertambah subur dengan pelaku-pelaku baru dalam usia yang masih muda. Kenyataannya, penjara tidak menghentikan mereka," ujarnya.
Baca juga: KPU pelajari putusan MK soal syarat mantan napi jadi calon legislatif
Baca juga: ICW apresiasi putusan MK terkait larangan bekas narapidana jadi caleg
Untuk itu, ujarnya, koruptor yang sudah dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi harus diberikan sanksi berat di mana tidak hanya berupa pemberian sanksi pidana melainkan sanksi administratif.
Ia menilai sanksi politis dan ekonomis akan lebih efektif membuat pejabat publik jera melakukan korupsi, yakni dengan cara memiskinkan serta menunda hak politik untuk terlibat dalam aktivitas pemilu setidaknya dalam satu pelaksanaan pemilu sebagaimana putusan MK terbaru.
Ia berharap putusan MK tersebut ditindaklanjuti pemerintah untuk segera mengajukan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu.
"Meski akan ada sedikit perdebatan soal cara menghitung lima tahun yang dimaksud, di sini peran moral KPU diharapkan memperkuat putusan ini," katanya.
Sebelumnya pada Rabu (30/11), MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan oleh karyawan swasta Leonardo Siahaan.
Permohonan yang dikabulkan tersebut terkait dengan larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi atau koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama lima tahun sejak ia dibebaskan atau keluar dari penjara.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: