Jakarta (ANTARA) - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta bantuan konsultasi psikologi untuk sehat jiwa (SEJIWA) dapat memperluas layanannya, tidak terbatas membantu layanan psikologi masyarakat akibat pandemi COVID-19 saja, tetapi juga terkait berbagai macam isu.

Moeldoko mengatakan, masyarakat saat ini dihadapkan dengan situasi kompleks, seperti ancaman resesi ekonomi, krisis pangan dan krisis ekonomi sebagai dampak ketegangan geopolitik dunia serta beberapa tragedi bencana alam, yang berpotensi mengganggu mental, dan perlu perhatian pemerintah.

"Kantor Staf Presiden bersama dengan Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) terus berkonsolidasi agar kinerja dan cakupan pelayanan SEJIWA menjadi lebih luas, sehingga semakin mampu menjawab kebutuhan layanan psikologi masyarakat," kata Moeldoko, dalam rapat koordinasi rencana re-launching SEJIWA bersama Himpsi, di Jakarta, Rabu (30/11), sebagaimana siaran pers diterima di Jakarta, Kamis.

Moeldoko juga berharap relawan SEJIWA yang dikoordinasikan Himpsi dapat terjun langsung memberikan layanan psikologi kepada masyarakat korban bencana alam, seperti misalnya korban anak-anak gempa Cianjur, Jawa Barat.

Ia mengatakan, KSP akan berkoordinasi lebih lanjut dengan BNPB terkait hal ini.

"Kebutuhan mental health tidak hanya ada saat pandemi dan bencana. Permintaan masyarakat terus ada. Layanan kesehatan jiwa juga merupakan hak seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat ekonomi mampu. Maka, SEJIWA harus tetap eksis menjawab kebutuhan masyarakat dengan meningkatkan performa serta cakupan layanan," jelasnya.

Untuk diketahui, SEJIWA adalah layanan telekonseling yang diinisiasi oleh Himpsi sejak 2020. Program baik ini kemudian diakomodasi oleh KSP, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Satgas COVID-19 dan BNPB.

Hingga saat ini layanan telekonseling ini telah mendapatkan ratusan ribu permohonan konseling dari masyarakat, di mana pada tahun 2021 total telepon yang tersambung ke SEJIWA mencapai 212.768 panggilan.

Kementerian Kesehatan sendiri menyatakan bahwa Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20 persen populasi di Indonesia memiliki potensi masalah gangguan jiwa, sehingga pemerintah memastikan bahwa kesehatan mental terus menjadi program prioritas.