Pakar sarankan penggunaan pupuk organik atasi tingginya harga
1 Desember 2022 06:28 WIB
Fasilitas penjemuran pupuk organik produksi Kelompok Tani Setaria binaan Pertamina EP Sangasanga Field di Desa Sarijaya, Sangasanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. ANTARA/HO-PEP Sangasanga/am.
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Tualar Simarmata menyarankan agar petani menggunakan pupuk organik yang lebih alami untuk mengatasi tingginya harga pupuk anorganik dikarenakan kenaikan harga bahan baku pupuk secara global.
"Di dunia ini ada dua jenis pupuk. Yang pertama buatan pabrik, yang sebagian diimpor. Yang kedua pupuk alami. Kita pakai yang alami saja. Optimalkan sumber organik lokal. Itu bergantung pada kemauan kita saja," kata Tualar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik seringkali menimbulkan sejumlah isu seperti ketersediaan pupuk subsidi yang terbatas dan kenaikan harga pupuk nonsubsidi.
Agar tidak terus menerus ketergantungan, Tualar mengatakan petani perlu menggunakan pupuk alami atau pupuk organik. Alih-alih bergantung pada pasokan pupuk impor yang saat ini terganggu akibat perang Rusia-Ukraina, Tualar mengajak petani untuk memaksimalkan pupuk organik yang bisa dilakukan petani.
Untuk petani padi, kata Tualar, langkah pertama mengatasi krisis pupuk adalah memaksimalkan hasil utama panen padi, yaitu gabah. Dari sembilan ton padi per hektare yang terpanen, ada sekitar enam ton jerami yang bisa dimanfaatkan untuk diolah menjadi pupuk kompos.
"Praktik yang benar itu jerami bukan dibakar, tapi diolah menjadi kompos dengan bantuan mikroba tertentu. Ini bisa membantu mengatasi 50 persen kebutuhan pupuk untuk budidaya padi," terang Tualar.
Berikutnya, kata Tualar, perlu diadakan program re-using atau pemanfaatan kembali sampah perkotaan untuk diolah menjadi pupuk. Pada dasarnya, kata Tualar, setiap orang memproduksi 1-2 kg sampah per hari.
"Dari pada kita mengimpor pupuk, kita olah saja sampah yang kita hasilkan ini menjadi pupuk untuk petani kita. Jadi, kita tidak perlu lagi bergantung pada pupuk impor," kata Tualar.
Baca juga: Pupuk Indonesia tindaklanjuti arahan Ombudsman terkait integrasi data
Baca juga: Komisi VI minta masukan distributor soal kebijakan pupuk bersubsidi
"Di dunia ini ada dua jenis pupuk. Yang pertama buatan pabrik, yang sebagian diimpor. Yang kedua pupuk alami. Kita pakai yang alami saja. Optimalkan sumber organik lokal. Itu bergantung pada kemauan kita saja," kata Tualar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik seringkali menimbulkan sejumlah isu seperti ketersediaan pupuk subsidi yang terbatas dan kenaikan harga pupuk nonsubsidi.
Agar tidak terus menerus ketergantungan, Tualar mengatakan petani perlu menggunakan pupuk alami atau pupuk organik. Alih-alih bergantung pada pasokan pupuk impor yang saat ini terganggu akibat perang Rusia-Ukraina, Tualar mengajak petani untuk memaksimalkan pupuk organik yang bisa dilakukan petani.
Untuk petani padi, kata Tualar, langkah pertama mengatasi krisis pupuk adalah memaksimalkan hasil utama panen padi, yaitu gabah. Dari sembilan ton padi per hektare yang terpanen, ada sekitar enam ton jerami yang bisa dimanfaatkan untuk diolah menjadi pupuk kompos.
"Praktik yang benar itu jerami bukan dibakar, tapi diolah menjadi kompos dengan bantuan mikroba tertentu. Ini bisa membantu mengatasi 50 persen kebutuhan pupuk untuk budidaya padi," terang Tualar.
Berikutnya, kata Tualar, perlu diadakan program re-using atau pemanfaatan kembali sampah perkotaan untuk diolah menjadi pupuk. Pada dasarnya, kata Tualar, setiap orang memproduksi 1-2 kg sampah per hari.
"Dari pada kita mengimpor pupuk, kita olah saja sampah yang kita hasilkan ini menjadi pupuk untuk petani kita. Jadi, kita tidak perlu lagi bergantung pada pupuk impor," kata Tualar.
Baca juga: Pupuk Indonesia tindaklanjuti arahan Ombudsman terkait integrasi data
Baca juga: Komisi VI minta masukan distributor soal kebijakan pupuk bersubsidi
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: